cinta kami ada dalam secangkir kopi, sepotong coklat, dan di blog ini..

Showing posts with label secangkir kopi. Show all posts
Showing posts with label secangkir kopi. Show all posts

Monday, 12 November 2018

Hidup yang Tercerabut

Lama ya saya tida nge-blog? Alasan pertama tentu saja tidak sempat, tidak punya waktu untuk bisa curi-curi kesempatan nulis. Alasan pertama tadi bisa jadi merupakan alasan ‘pembenaran’ untuk saya yang mulai menggunakan waktu luang bukan lagi untuk nulis di blog, seperti dulu. Seperti dulu yang tiap liat meja kerja di kamar bawaaannya pingin bikin kopi aja trus buru-buru nge-blog. Sekarang? Jika punya me-time_jika tidak sedang punya buku baru untuk dibaca atau nonton film bareng suami, saya main Twitter laaaah.

Gambar diambil dari sini

Dulu saya sering membatin, hidup saya bisa tercerabut oleh medsos. Betapa tidak? Yang harusnya saya bisa menulis, membaca, atau berdiskusi dengan suami, saya malah sahut-meyahut chat di grup WA, liat & komen status temen di FB, liat foto di IG, atau terjebak serunya cuitan di Twitter. Dan saya pastikan 80% hal-hal tersebut ga begitu penting-penting amat untuk kemaslahatan hidup saya. Lantas bagaimana hidup saya tidak tercerabut?

Tapi bagaimana dengan alasan kedua? Alasan kedua, karena sekarang saya berubah menjadi penakut!

Saya takut tulisan saya akan menyinggung orang lain. Saya takut tulisan saya akan membuat marah orang lain. Dan parahnya, saya takut isi tulisan saya dibantai orang lain. Iya iya, saya akui ini berbeda dengan saya yang dulu. Dulu di mana saya bebas mau teriak-teriak apapun di blog, cerita apapun di blog, toh blog blog saya ini. Rumah rumah saya.

Tapi situasi sekarang memang sudah berbeda dengan yang dulu. 

Dulu sebelum medsos dan ponsel Android menjadi candu untuk kita (eh atau hanya saya?). Dulu semasih bebas menulis apa saja tanpa takut di-bully, hanya ingin didengar, hanya ingin dimengerti ‘inilah saya’. Dulu, iya dulu sebelum medsos begitu riuhnya. Sebelum beberapa orang di jagat net menjadi gampang nge-gas. Sebelum segala cincong akan disangkut-pautkan dengan pilihan capres (ealaahh). Sebelum orang akan sibuk menakar keimananmu dari pilihan bahasa kita yang ga keArab-araban. Sebelum orang berduyun-duyun memilihkan surga atau neraka untukmu hanya karena kita seorang ibu bekerja atau memilih mereview produk kecantikan alih-alih mengulas tentang pengajian yang tadi pagi kita datangi.

Maka diri saya pun, hidup saya, kembali tercerabut. 

Maka kemudian, FB dan IG lebih sering menjadi tempat saya mengarsipkan foto (sekarang lagi mikir-mikir untuk hanya menyimpannya di Google Drive dan DropBox) jarang lagi menjadi ruang saya untuk mengungkapkan pendapat pendek. Karena apa yang saya tulis di FB, acapkali membuat orang menjadi salah paham, salah tangkap, salah mengerti yang ingin disampaikan. Berbeda dengan bahasa lisan yang mempunyai kekuatan nada suara, intonasi, dan mimik wajah untuk memperjelas apa yang ingin kita sampaikan.

Satu-satunya medsos yang bikin saya tetap nyaman adalah Twitter. Saya bisa jadi apa adanya saya. Mungkin karena tidak banyak orang yang kenal saya di Twitter, atau bisa jadi atmosfer di Twitter lebih open minded, renyah, dan santai. Enam tahun di Twitter dan saya masih tetap nyaman. Bahkan saya jadi sering dapet giveaway dan teman diskusi baru.

Tetapi, tetiba hari ini saya rindu nge-blog. Iseng-iseng saya ingin membuktikan bahwa saya tidak akan kalah dari medsos, tidak ingin hidup saya benar-benar tercerabut. 

Read More

Monday, 6 March 2017

Seandainya

Seandainya kita tahu dengan siapa kita menghabiskan sisa usia, barangkali kita hanya terus disibukkan dengan mencari dia, atau bahkan merutuki nasib (?)
Seandainya kita tahu bagaimana rasanya patah hati, barangkali kita akan berpikir ribuan kali untuk jatuh cinta
Seandainya kita tahu bagaimana perihnya cemburu, mungkin kita akan membatasi memberikan hati seutuh-utuhnya
Seandainya kita tahu di mana kita akan mati, mungkin kita tidak akan menyambangi tempat itu barang sejengkal
Seandainya kita tahu bagaimana rasanya miskin, mungkin kita tidak akan berhenti sedetik pun untuk mensyukuri yang kita punya saat ini
Seandainya kita tahu bahwa tidak semua janji akan ditepati, barangkali kita akan bersiap untuk hari itu_hari di mana ada janji yang terabai

Seandainya saya tahu saya akan terlihat pucat, barangkali saya akan memakai sedikit lipstik. Hi hi... 

Selamat datang Maret 2017, aku menyayangimu meski pada awal minggu telah kau hadiahkan air mata, sedikit cemburu yang menyusup, dan degup-degup dalam rasa antah berantah. Tapi telah kau berikan kecupan manis, seteguk kopi, dan coklat dengan sedikit pahit dan manis yang elegan.

Selamat datang Maret 2017, semoga tetap seterong!!!
Read More

Monday, 21 November 2016

Panggilan Candu

"Ibu"  adalah mantra yang selalu bisa kau panggil saat lelah dan kalah

Hingga hari ini_setelah 5 setengah tahun menjadi orang tua_ ada satu panggilan yang tetap membuat saya bergetar meski tiap hari selama 5 setengah tahun itu saya mendengarnya setiap hari : panggilan “Ibu”.

Panggilan itu tetap menjadi ring tone favorit bagi telinga melankolis saya.  Entah si sulung Mas Ed atau si keci Akis meneriakkan panggilan itu dengan nada apapun_merengek, riang, manja, merajuk, merayu, atau bahkan dengan marah sekalipun! Saya tetap suka mendengar mereka memanggil saya “Ibuuuu” atau “ Buuukkkk”, atau Akis yang suka sekali mengayun-ayunkan nadanya naik turun “Iiibbbuuukkkk”. Ahhh gemash!

Ketika mereka memanggil saya dengan sebutan “Ibu”, saya seperti mengunyahnya pelan-pelan, mencecap berbagai rasa memenuhi rongga hati saya : syahdu; bangga; dan merasa dibutuhkan, selanjutnya mencernanya dengan perlahan, dan kemudian menimbulkan rasa ‘lapar’ untuk dipanggil “ibu” lagi.

Saya yang ketika dipanggil oleh mereka selalu buru-buru menjawab : “dalem, Sayang” (dalem adalah bahasa Jawa halus yang artinya adalah “saya” atau “iya”) selalu berusaha menjawab dengan nada yang hangat dan enak didengar, meski kadang tergoda juga untuk menambahkan falset tinggi di nada yang terakhir karena didera rasa capek dan stress karena tingginya tingkat beban rutinitas atau atas kondisi tak terkendali.

Dalem, Sayang” memang sudah menjadi 'merk dagang’ bagi saya sejak mereka masih orok hingga Edsel sebesar sekarang dan Akis seumur saat ini dengan harapan mereka juga akan terbiasa menjawab setiap panggilan dengan 'halus' dan enak. Rasanya ada pengikat tak terlihat dalam jawaban saya itu. Pengikat yang hendak selalu saya eratkan kepada mereka setiap waktu agar mereka tidak pernah lupa bahwa sampai kapan pun, mereka tetaplah anak kesayangan saya yang bisa selalu datang ke pelukan saya. Pelukan yang tetap kukuh, meski fisik dikejar rapuh.

“Ibu” adalah panggilan yang terhebat untuk saya. Membuat jiwa saya bergelenyar.
Se-under dog apapun saya di mata orang lain, tapi panggilan “Ibu” telah dengan serta merta menobatkan saya menjadi ratu nomor satu untuk kedua nyawa yang di dalam mata mereka saya berutang bahagia.

“Ibu” adalah panggilan candu untuk saya.
Read More

Wednesday, 26 October 2016

Curhatan Lagi



Hari ini saya bingung, dapat pertanyaan via email, "Mba, gimana ya caranya agar calon suami saya melupakan mantannya? Soalnya mantannya itu pintar memasak sedangkan saya tidak".

Sebenarnya saya heran sekaligus geli. Pertama, dia bertanya sesuatu kepada saya yang notabene bukan expert di bidang itu.Yakali saya psikolog atau saya pernah punya 'saingan' yang pintar memasak. 

Kedua, ini pertanyaan yang paling aneh yang pernah saya 'tampung'. Biasanya orang curhat sama saya tentang ASI, MPASI, GTM, ya sejenisnya lah. Atau karna kemarin saya posting tentang Onkologi maka banyak juga yang nanya-nanya soal kanker payudara. Lah ini? Konsultasi soal cinta yang akar masalahnya juga ga umum. Err..sebenarnya bukan ga umum sih, ini kalo saya tarik, akarnya cuma satu : ga percaya diri.

Bukan saya menertawakan atau meremehkan pertanyaan ini, bukan! Saya hanya takut salah jawab. Makanya hal pertama yang saya lakukan sebelum menjawab pertanyaan itu adalah menempatkan diri saya menjadi dia. Bagaimana seandainya saya punya calon suami dan kami sebentar lagi menikah. Sedangkan kemampuan memasak saya biasa-biasa saja, bahkan cenderung payah. Dan di pihak lain, mantan istri calon suami saya itu seorang wanita yang pintar memasak. Sehingga calon suami saya itu terbiasa punya istri yang pintar memasak. (Eh ribet ga sih kalimat saya? Hehehe).

Tetapi semakin saya berandai-andai, semakin saya punya jawaban yang simpel : so what?.
So what jika mantannya itu pintar memasak sedang saya tidak?
So what jika calon suami saya terbiasa makan yang enak-enak dari hasil tangan istrinya (kala itu)?
So what jika saya tidak bisa memasak sepintar mantan istrinya?
So what????

Saya punya kecerdasan lain yang tidak dipunyai mantan istrinya. Saya punya kelebihan lain dibanding mantan istrinya. Dan di atas semua itu, saya adalah saya, bukan mantan istrinya atau siapapun. Saya mencintai calon suami saya dan selalu belajar menjadi lebih baik. That's all.

Udah saya cuma mau bilang gitu aja. Tak perlu lah mengusahakan si calon melupakan eks-nya? Buat apa? Masa lalu tidak harus dan tidak bisa dipaksa dilupakan kan?

Terkadang kita punya penyakit tidak percaya diri hanya karena kita secara kasat mata kurang dari yang lain. Padahal belum tentu juga kita tidak lebih baik dari orang lain. Saya juga kadang minder, tapi ujung-ujungnya saya pede aja. Toh orang lain belum tentu sehebat yang kita kira kan? Kalopun mereka emang bener hebat justru kita jadi tertantang untuk lebih baik lagi kan?

Note : percaya atau tidak, sejak punya blog, saya sering dapat pertanyaan-pertanyaan yang meminta nasihat. Meski kita ga expert dan ga merasa lebih tau, tapi paling tidak kita bisa share pengalaman, atau bahkan cuma jadi temen sharing doang. Dan kamu tau gimana rasanya? Waarbyasahh!
Read More

Monday, 24 October 2016

Teringat Omran Daqnees

Foto ini pernah menjadi viral di pertengahan Agustus. Dan membaca berita di balik foto ini membuat saya tergugu, bahkan hingga hari ini.




Dia adalah Omran Daqnees, 5 tahun, korban perang di Aleppo Suriah yang tidak menunjukkan reaksi apa pun ketika terluka karena bom. Tidak menangis. Tidak meratap. Tidak berteriak. Tidak kesakitan. Bahkan dia tidak mengucapkan sepatah katapun! Dia hanya diam, mengelap darah di wajahnya tanpa ekspresi. 

Ya Tuhan, dia bahkan baru seumuran Edsel! Mungkin dia tidak menangis karena syok. Mungkin juga karena saking biasanya melihat darah dan kematian sehingga apa yang terjadi pada dirinya merupakan hal-yang-harus-terjadi, hanya tinggal menunggu waktu saja.

Sulit bagi saya untuk bisa membayangkan bahwa seorang anak berumur 5 tahun berada di lingkungan yang serba tidak pasti, tidak aman, dan pasti mengerikan. Membayangkan bahwa saat Edsel masih bingung antara mau makan telur atau udang, di saat yang sama Omran dan teman-temannya sedang kelaparan karena makanan sulit didapat. Atau bahkan lebih gila lagi : sedang berlarian menyelamatkan diri dari bom dan tembakan. Saat Edsel merengek lebih memilih nonton tivi sambil tiduran daripada belajar IQRA', di sana di Suriah, Omran dan keluarganya mendengar desingan peluru setiap hari di atas atap rumah mereka.

Maka saya sering menjadi senewen ketika bapak ibu saya dan mertua terlalu memanjakan anak-anak. Saya sentimentil ketika Edsel punya suport system yang baik tapi itu menjadikan mereka punya standar kenyamanan yang tinggi. Dunia tidak selalu manis seperti di rumah kita, boy!

Saya sedih setiap kali membayangkan banyak anak-anak seumuran anak Edsel (atau bahkan Akis!) setiap saat terintimidasi, terluka dan bahkan terbunuh oleh perang yang tak kunjung selesai. Merenggut apa pun dari mereka. Merenggut rasa aman otomatis merenggut waktu belajar, bermain, kebebasan, dan sedihnya juga bisa merenggut nyawa siapa pun.

Jika perang itu atas nama kebenaran, maka kebenaran yang mana yang mengabaikan nyawa anak-anak? Jika perang itu 'hanya' perang saudara, kenapa tidak ada kekuatan yang mau menghentikan pembantaian terhadap anak-anak itu?

Atas nama apa pun, perang tetap saja tidak punya hati.


Read More

Sunday, 16 October 2016

Seperti Es Krim


Es krim hari ini dingin sekali
Barangkali dinginnya meleleh sampai ke hatiku
atau bahkan hatimu?
Sampai kamu enggan menghitung lagi untukku
pada detik ke berapa kita akan bertemu

Es krim hari ini manis sekali
Tapi hanya kecupanmu
yang sanggup membawa gula-gula rindu
hingga menusuk hari-hariku

Es krim kali ini
ternyata tak mampu lagi menggodamu
Hanya menyisakan manis nan membuatku kelu,
dingin yang merayap ke buku-buku jemariku

Dan senja pun tak lagi seperti dulu


Read More

Wednesday, 12 October 2016

Tidak Sampaikah


Dan aku pun menjadi gila
mendekap bayangmu yang terus berlari
serupa mimpi yang datang terlalu pagi


Kutitipkan nelangsa
pada embun pagi
pada debu jalanan
pada lampu taman
pada rintik hujan
pada angin yang mendesah

Tidak sampaikah?





Read More

Friday, 7 October 2016

Hari yang Terlampau Manis


Mari sayang,
kita bangunkan hujan
agar aroma tanah basah
berpelukan dengan wangi tubuhmu
menggoda secangkir lemon tea untuk kau cecap
di bibirmu yang manis

tak bosankah engkau berlari
kesini, duduk di sini, bersamaku
ceritakan tentang matahari mula-mula
yang kau temukan di atas kertas bersampul lusuh

atau bisikkan padaku
tentang wangi sedap kamboja
yang membuat kita ingat akan ujung usia

atau, tentang lagu "Stuck In My Heart"
yang hambar di telinga
namun tak henti kau putar

atau ...
atau ...
atau apa saja asal kita bercakap

karena hari ini terlampau manis
untuk aku reguk sendiri


Read More

Tuesday, 4 October 2016

Kutunggu Engkau Lewat Kopi

Sering aku berpikir, mengapa aku begitu mencintaimu.

Mencintaimu membuatku serupa bunga-bunga musim semi : merekah dengan merah jambu yang indah. Namun, terkadang aku seperti daun-daun kering yang meluruh ke tanah. Karena mencemburuimu membuat jiwaku gersang dan jatuh.

Matamu adalah hal paling tak bisa kutipu. Memberiku perasaan ganjil tanpa permisi. Menangisi ruang-ruang penuh sesak dengan namamu dalam dasar hati. 

Aku meratapi malam-malam panjang dengan melukis parasmu, Merindukan mata itu kembali menatapku. Ah Cinta, kenapa engkau harus datang dan pergi? Katakan pada dia yang memilikimu, aku menunggumu di ujung waktu untuk bercerita tentang lagu-lagu. 

Kutunggu engkau lewat kopi panas yang kuhirup pelan-pelan. Syahdu.


Read More

Thursday, 3 March 2016

Saya Kembali Ngeblog

Inilah mood booster saya. Bangun pagi, buka jendela, lihat rumput dan pohon sawo kecik, nyari suara ayam jago berkokok. 

Halo saya kembali ngeblog setelah libur ngeblog selama errr....kurang lebih 1 bulan. Saya emang gini nih tidak bisa fokus ke banyak hal. Begitu kerjaan kantor tumpah ruah jangan harap saya bisa menyelip-nyelipkan waktu untuk nulis. Kayaknya kapasitas lokus-lokus di otak saya memang terbatas, musti satu-satu diselesaikan dengan cara yang elegan biar hasilnya ciamik. Ha ha belagu ya bahasanya.

Hari ini saya kembali ngeblog dan penyemangat saya pagi ini adalah si adik yang baunya melulu asem tapi bawaannya pingin meluk aja. Sedang mas Edsel dari tadi malam belum ketemu karena nginep di rumah Uti sama Ayahnya.

Dan hari ini saya ngeblog di kantor memanfaatkan momen selesainya evaluasi APBDes semua desa. Ah lega rasanya! Semoga besok-besok bisa ngeblog di rumah lagi seperti biasa setelah anak-anak tidur. Jika biasanya kalo di rumah juga bawa setumpuk dokumen APBDes untuk dievaluasi, maka untuk sementara waktu ini setelah anak-anak tidur saya bisa menikmati me time. Jadi diri sendiri. Menikmati hobi : ngeblog dan baca buku.

Maka mulai hari ini karena satu dan lain hal saya punya pandangan baru tentang finansial, tentang sehat, tentang semangat pengabdian dan kapabilitas saya sebagai pegawai negeri. Ih banyak ya? Dan ga janji juga bisa semua di-share di blog ini karna keterbatasan waktu.

Haahhhh kembali menghirup oksigen dalam-dalam dan .... semangat ya!!


Saya kembali ngeblog.
Read More

Sunday, 24 January 2016

Banana Cake by Erna

Banana cake ini bikinan Erna, adik kelas saya sewaktu SMP yang kegigihannya untuk mewujudkan visinya sungguh sering membuat saya geleng-geleng kepala.

Sebenarnya saya ga ngefans-ngefans amat sih dengan kue berbahan dasar pisang dan tepung ini. Tapi dulu saya termasuk rajin bikin kue ini, saking banyaknya pisang yang kematengan di rumah.

Pertama kue ini mendarat di rumah, sebenarnya saya langsung kaget juga sih. Packaging-nya dengan kotak snack yang kecil itu, waaduhh.  Oke, ini mungkin demi menghemat biaya operasional. Tapi menurut saya, ini justru terlihat kurang profesional dan biaya yang dihemat juga tidak signifikan. Terlebih kotak snack-nya eksklusif, ditambah dengan kantong plastik yang juga eksklusif. Malah sayang kan? Atau mungkin ini strategi penjualan juga biar terlihat unik dan berbeda? Bisa jadi. Tapi dengan dikemas kotak snack, begitu dibuka akan terlihat kue-kue ini berantakan, seperti disusun setelah dipotong. Tidak seperti jika dikemas di kotak cake yang terlihat ditaruh dan dipotong di situ jadi terlihat rapi dan rapat. Aih...bahasa saya belepotan. Ya pokoknya begitu lah. Semoga bisa dimengerti. 

Kotak untuk cake sebenarnya ga mahal-mahal amat lho. Ada yang sederhana sehingga bisa menghemat budget, namun tetap terkesan 'ini cake bukan snack box'.

Yang pertama mencicipi banana cake ini adalah Edsel, dan dia hampir menghabiskan dua kotak dalam sekali makan! Wah prestasi nih. Si Ed biasanya tidak suka banana cake, berarti ada yang spesial. Memang benar, terlepas dari packaging yang membuat saya kecewa, tapi rasanya memang enak benerrr. Legit, rasa pisangnya tidak pelit. Dan untuk saya yang tidak suka manis, rasa manis kue ini tidak berlebihan. Perpaduan manis pisang dan manis gula terasa balance. Taburan keju parut dan coklat meises di atas kue ini juga makin membuat rasanya sempurna.



Sayang seribu sayang, lezatnya kue ini harus terganggu dengan tampilannya. Untuk sebuah cake, potongan kue ini terlalu kecil, dan terlalu tipis. Ah sayang sekali. Bisa jadi ini juga untuk mengakali biaya. Kue tetap enak, tanpa mengurangi takaran bahan, tapi potongan dibuat kecil dan banyak. Padahal menurut saya. Jangan deh mengorbankan persentasi. Tampilan itu hal pertama yang terlihat yang akan membuat makanan itu terlihat enak bahkan sebelum rasanya sampai di mulut kita.

Kalau potongan cake seukuran ini, tampilannya jadi cantik
Tapi tetap saja ya, untuk sebuah harga yang cuma dua puluh ribu perak untuk loyang kecil, kue ini juara deh. Saya sih berharap, demi untuk kepuasan pelanggan, namun tetap mengakomodir konsumen dengan low budget, Erna akan bikin dua versi kue-kuenya. Ya kalo boleh pinjam istilah : 'mau yang kelas premium atau yang ekonomis?'. Saya yakin kok, dua-duanya akan tetap enak. Namun beda persentasi saja mungkin. Sayang kan kalo kita udah cocok dengan rasanya trus mau pesen buat oleh-oleh atau hantaran tapi tampilannya kurang cantik.

But, tapi makanan itu kan soal selera yah? So, penilaian saya dengan orang lain bisa saja berbeda atau mungkin berkebalikan. Hubungi Erna aja deh untuk yang penasaran. Bisa chat langsung sama dia via BBM di PIN 54509816. Dia anaknya asik dan komunikatif banget. Jadi kalo kamu pingin dibikinin apa yang kamu ga mau bikin sendiri, hubungi dia aja, niscaya gadis manis ini akan berusaha memenuhi kenginan kamu. Dia ga hanya bikin banana cake lho, ada pizza, stromboli, brownies, kue bandung, dan entah dia punya ide gila apa lagi.

Ini saya ga promosi berbayar ya. Sungguh. Saya seneng aja bantu dia ngenalin dagangannya ke temen-temen yang belum tau. Kecuali setelah saya posting ini, tiba-tiba besok pagi saya dapat kiriman pizza gratis. Hehe...*ngarep.


Read More

Wednesday, 13 January 2016

November Rain

Ini bukan cerita tentang November yang basah. Karena toh bulan November kemarin di tempat tinggal saya memang belum turun hujan. Bukan pula saya akan bercerita tentang puisi, atau syair lagu nan romantis.

November kemarin adalah November hujan untuk hati saya. November yang basah. Bisa dikatakan bulan itu adalah masa terberat selama 5 tahun pernikahan saya.

Suami dirawat di RS dengan diagnosa TB paru. Menyebut penyakit ini membuat kepala saya mendadak terasa berat dan perut mual. TB memang bukan penyakit kutukan yang tidak bisa disembuhkan, tapi pengobatan yang lama, disiplin, dan kemungkinan penularan yang besar sudah sungguh menguras pikiran saya. Saya berada dalam masa ter-stress selama hidup saya sepertinya. Menjaga suami yang sakit di rumah sakit, sambil mengasuh balita berumur 4,5 tahun, dan merawat bayi 6 bulan memerlukan tidak cuma tenaga dan waktu. Tapi juga pikiran dan perasaan. Terlebih di masa-masa kritis itu ternyata pikiran dan perasaan negatif yang justru dominan. Alhasil saya capek luar dalam.

Pikiran dan emosi negatif itu diperkuat dengan Edsel yang 3 bulan terakhir berat badannya terus turun, batuk sudah hampir 3 minggu. Duh Gusti,...belum selesai shock saya, selama 3 hari dirawat ternyata suami tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan, malah sepertinya tambah parah. Badannya semakin lemah, intensitas batuk dahak dengan darah (!!) semakin tinggi.

Selama usia anak-anak saya, saya tidak pernah mengasuh anak sendiri. Selalu ada suami yang ikut membantu dan menguatkan saya dalam kondisi apa pun. Sehingga saya bisa menjalani peran sebagai ibu bekerja dengan manis. Bahkan ketika masa-masa anak-anak sering terbangun malam, suami saya lah yang menidurkan kembali agar saya tidak kecapekan karena harus bolak-balik bangun. Sehingga saya sering bersyukur, "Ah apa jadinya jika saya harus mengasuh anak sendiri tanpa dukungan suami". Belum lagi jika dilihat persentase ketergantungan saya pada suami, waduh. Saya ini benar-benar istri yang manja. Pilek sedikit, ah ada suami yang bantu jaga anak-anak. Pusing dikit, ah ga usah masak, suami dengan suka rela akan membelikan makanan untuk semuanya. Urusan motor? Saya nol besar. Saya ini tahunya hanya pakai. Urusan bensin, servis, cuci motor, dll saya mah ga pernah tau. Kalo mau berangkat kerja, ga ada cerita saya manasin motor atau minimal lap-lap, ga ada.

Sehingga ketika tiba-tiba saya dihadapkan pada kenyataan suami dirawat, saya benar-benar limbung. Terlebih selama perjalanan rumah tangga kami, belum pernah kami diberi cobaan yang 'berat'. Palingan hanya yang ringan-ringan dan mudah. Jadi peristiwa itu seperti memaksa saya untuk bangun dan kuat, bukan melulu berleha-leha. Bukan melulu menggantungkan diri pada suami.

Alhamdulillah ketika suami dipindah rawat di RS Paru Surakarta, kondisi berangsur membaik. Dan setelah 4 hari di sana, suami dibolehkan pulang. Maka, ujian selanjutnya menunggu saya. Karena ayahnya positif TB paru, maka saya dan anak-anak juga harus diskrinning. Bayangkan betapa melelahkannya membawa dua balita hampir setiap hari bolak-balik ke rumah sakit. Karena tes untuk mendeteksi TB pada anak-anak bukan tes yang langsung bisa dilihat hasilnya hari itu juga. Tes yang namanya kerennya Mantoux ini, harus dilihat indurasinya minimal 3 hari sesudah penyuntikan. (Mudah-mudahan tentang tes Mantoux bisa saya tulis di postingan tersendiri). Padahal jarak dari rumah ke rumah sakit paru itu tidak kurang dari 80 km.

Thanks God, saya dan anak-anak negatif TB setelah melalui rangkaian tes. Karena saya dan anak-anak tidak ada keluhan batuk lama, penurunan berat badan, nafsu makan, atau keluhan lainnya maka saya hanya perlu pemeriksaan rontgen dada. Sedangkan si Ed rontgen dada dan tes Mantoux. Akis cukup tes Mantoux saja.

Saking seringnya kesini dan saking seringnya antri jadi udah ga canggung aja gleseran kayak gini di koridor

Yang bikin saya tetap termehek-mehek adalah meskipun anak-anak negatif, tapi mereka tetap harus minum profilaksis (pencegahan), yaitu tablet INH. INH itu sebenarnya juga salah satu obat TB tapi dikombinasikan dengan beberapa obat lain. Kalo untuk pencegahan cukup minum INH saja. Si INH ini harus diminum setiap hari selama ayahnya dalam masa pengobatan. Berarti minimal 6 bulan. 

Ahhh...termehek-meheklah daku.


Read More

Tuesday, 13 October 2015

PUPNS oh PUPNS

Jam 03.00 dini hari ini setelah bangun untuk menyusui si Akis, saya segera meraih laptop. Melewatkan mata lengket yang mengajak untuk tidur lagi dan melewatkan sesi pumping malam ! Hiks. Apa pasal? Demi mencari traffic yang tidak begitu padat agar bisa mengisi data PUPNS !

Daftar e-PUPNS


PUPNS yang merupakan kepanjangan dari Pendataan Ulang PNS ini menurut di websitenya sih "merupakan kegiatan pemutakhiran data PNS yang dilakukan secara online dan dilaksanakan sejak bulan Juli dan berakhir pada Desember 2015. Untuk proses pemutakhiran data ini setiap PNS memulai dengan melakukan pemeriksaan data yang tersedia dalam database kepegawaian BKN dan selanjutnya PNS, melakukan perbaikan data yang tidak sesuai serta menambahkan/melengkapi data yang belum lengkap/tersedia di database BKN". Tapi definisi sederhananya menurut saya adalah sebuah aplikasi online di mana di dalamnya berisi data kepegawaian PNS.

Jangan ditanya bagaimana jalannya si aplikasi ini ya. Saya sudah emosi jiwa dibuatnya. Grhhh.....Bener-bener kebangetan deh untuk sebuah aplikasi berskala nasional. Untuk login aja susah. Apalagi mau ngisi data. Haduhhh, dibutuhkan kesabaran yang amat tinggi dan kelapangan jiwa yang amat lapang. Bahkan untuk kondisi jaringan internet yang sedang bagus, satu data bisa makan waktu 1 jam baru berhasil. Terkadang, bahkan sering, beberapa jam nongkrongin laptop saya tidak berhasil memasukkan data sebiji pun!! Bayangkan berapa banyak waktu yang terbuang karena aplikasi ini.

Untuk beberapa SKPD memang ada operator khusus yang ditunjuk untuk mengisi data para pegawainya sehingga para pegawai tidak perlu meluangkan waktu khusus untuk berjibaku dengan parahnya si aplikasi dari BKN ini. Tapi untuk SKPD lain belum tentu, termasuk di kantor saya. Semua pegawai harus mengisi sendiri datanya. Karena waktu jam kerja tidak mencukupi untuk mengerjakan selain tugas pokok, maka kami memakai jam di luar jam kerja atau paling sering sih di rumah.

Di rumah pun harus pintar-pintar mencari waktu yang traffic-nya tidak padat. Jam tengah malah adalah waktu yang ideal. He he he. Tapi ini pun bukan jaminan pengisian kita akan lancar jaya. Tersendat-sendat sih sudah pasti. Banyak gagalnya juga sudah jelas.

Saya tidak tahu ya apakah di daerah lain kondisinya seperti ini. Tapi jika saya yang tinggal di pulau Jawa yang notabene tidak terkendala dengan koneksi internet saja kesusahan setengah mati untuk terkoneksi dengan server, bagaimana dengan rekan-rekan PNS yang berada di pulau-pulau yang miskin jaringan internet? Hal ini diperparah dengan ancaman dari BKN dengan memberi batas waktu pengisian sampai 31 Desember 2015. Jika batas waktu ini dilanggar, sanksinya adalah dikeluarkan dari database kepegawaian nasional alias pensiun dini. Sudah, lengkap sudah kegelisahan para PNS.
 
Hmmmm...kami PNS daerah tidak tahu apakah kegelisahan ini terdengar sampai ke  pembuat kebijakan.
Read More

Saturday, 29 August 2015

Barang KW

Bukan saya hendak kampanye anti barang KW ya. Meskipun yah tentu saja ini bukan tindakan yang benar, dari aspek hak cipta itu tindakan melawan hukum. Belum kalo nyangkut perasaan sang pembuat alias tim kreatifnya, deuuhh sakit bener sesuatu yang kita bikin dengan mengerahkan segala ide, kreativitas, dan kemampuan dijiplak dengan tanpa prosedur yang sesuai. 

Tapi sekali lagi, saya bukan hendak kampanye anti barang KW. Karena jika kita lihat lebih ke dalam ya, ke dalaamm banget dan pake sisi berpikir yang berbeda barang per-KW-an di Indonesia ini telah menghidupi banyak orang. Mulai dari produksi hingga penjual. Dari yang gede hingga akar rumput reseller kecil-kecil yang jualan via BBM.

Nah sekarang saya fokusin ke tas dan dompet KW aja ya. Saya sendiri jarang beli tas/dompet KW. Kayaknya baru dua kali saya beli tas-tas KW dengan merk luar ternama itu. Dulu, sekitar 5 tahun yang lalu. Dan terkadang sekarang masih saya pakai karena sayang. Setelah itu saya lebih memilih membeli buatan lokal aja. Kenapa? Soalnya merk-merk macam Gucci, Hermes, Chanel, dan brand-brand dunia ngetop lainnya banyak yang nyamain, dan pastinya itu KW. Di kota kecil seperti tempat saya tinggal, jarang ada yang beli tas ori. Jadi yang bertebaran bersliweran sambil nenteng tas-tas bermerk itu pastilah KW. Ga nyaman aja rasanya barang kepunyaan kita banyak kembarannya, palsu pulak. 

Menurut saya, ini menurut saya lho, boleh yang punya pendapat berbeda. Jika saya memang tidak mampu beli yang ori_yang harganya puluhan bahkan ratusan juta itu_ bukankah lebih bermartabat saya memakai barang produk lokal, asli dan tentu saja harganya lebih murah. Banyak lho sekarang brand tas lokal yang kualitasnya bagus. Modelnya juga ga niru-niru brand-brand terkenal itu, jadinya kan lebih unik bukan? Rasanya jelas lebih rasa kita, rasa Indonesia. Ga melulu seragam bentuk Gucci, Hermes, Chanel, dll. Walaupun memang, dibandingkan harga KW 3, brand lokal ini agak sedikit  lebih mahal. Tapi memang begitulah harga kreativitas, kita belajar menghargai daya mencipta itu lho karena ga semua orang bisa. Kita belajar juga menghargai hak cipta. Ga melulu gradak-gruduk njiplak-njiplak melulu.

Ini adalah dompet Makara yang saya beli lebih dari 1 tahun yang lalu. Harganya murah aja, dan ga kalah cantik dengan barang KW kan?


Terlebih ni, jika kita sangkut pautin dengan nilai dollar yang terus merangkak. Ini kan sebenarnya bisa menjadi momentum bagi kita untuk menghargai dan selanjutnya memakai barang buatan Indonesia. Ketika suatu saat dollar naik tangga lagi (kayaknya udah bukan suatu saat lagi ya), kita udah pede aja karena toh kita punya barang lokal yang berkualitas, dan kita make itu. Belum kalo disangkut pautin lagi tentang pelanggaran hak cipta. Aww...kalo bener-bener diterapin ngeri bok (untungnya susah ya nyari siapa yang salah karena saking banyaknya. Amannn..amaann.. Hehe).

Akhir kata, ini hanya buah pemikiran saya aja. Ada yang setuju, ada yang tidak suka, monggo. Seperti yang sudah saya kemukakan di atas, barang KW memang telah membuka peluang kerja bagi banyak orang. Tapiii....jika kita belajar menghargai dan akhirnya memakai produk negeri sendiri, maka bukankah permintaan akan produk itu juga makin banyak, dan akhirnya peluang kerja juga tercipta. Selain itu dengan banyaknya permintaan maka harga akan bersaing, ujung-ujungnya kita, konsumen juga yang akan diuntungkan karena mendapat barang berkualitas dengan harga terjangkau.

Yaahh semoga ya akan bermunculan brand-brand lokal dengan kualitas oke ya sehingga kita akan malu memakai barang KW.

Read More

Wednesday, 18 March 2015

Kenapa Kurikulum Kita Berat Sekaleee ... ?!?!!

Iyah, ini curahan hari emak-emak yang kelak akan menyekolahkan anaknya dan saat ini sedang ketar-ketir melihat kurikulum pendidikan di Indonesia yang menurut saya berat. Jika saya membaca selayang pandang tentang pendidikan di luar negeri, dan terlebih membaca tulisan Mba Rika di blognya tentang sistem pendidikan di Finlandia tempat dia tinggal sekarang, maka kurikulum pendidikan kita termasuk kerja rodi. Finlandia terkenal dengan kualitas pendidikannya yang terbaik di dunia. Tapi coba kita lihat apa kurikulumnya lebih memeras otak dan keringat dibanding kita yang di Indonesia.

Kurikulum Finlandia sangat santai dan tidak membebani anak. Anak-anak di sana mulai sekolah di usia 7 tahun, dan di usia itulah mereka baru akan belajar membaca dan berhitung secara formal. Bandingkan yah dengan di sini, terlebih yang tinggal di daerah seperti saya, di mana nyari TK yang ga ngajari calistung aja susah dan dijamin ketinggalan dengan teman-temannya yang lain.

Menurut Mba Rika, sekolah Finlandia juga terkenal santai, banyak liburnya, jam istirahatnya panjang, dan PRnya sedikit. Pendidikan di Finlandia ditujukan untuk menghasilkan generasi yang mandiri dan bisa bepikir sendiri. Pelajaran di sekolah  disesuaikan dengan tingkat kemampuan anak di usianya sehingga anak-anak diharapkan bisa mengerjakan PR-nya tanpa bantuan orang lain.


Suasana kelas di Finland

Sekolah di Finlandia juga minim ujian. Ujian besar macam UN cuma berlangsung sekali-dua kali sepanjang masa sekolah mereka. Ya ampuunn.... Penilaian dari guru juga umumnya bukan berbentuk nilai. Rapor sekolah biasanya berisi keterangan apakah si anak lulus atau tidak lulus di tiap mata pelajaran. Tapi tiap guru tau benar akan kemampuan masing-masing muridnya. Ga jarang guru membuat soal ujian yang berbeda tingkat kesulitannya untuk siswa tertentu. Murid-murid diharapkan bersaing dengan dirinya sendiri di sekolah, bukan dengan orang lain. Sistem pendidikan di Finlandia memang jauh dari kompetitif.

Bukan saya menghendaki pemerintah mengadop seluruhnya sistem pedidikan sana ya, sistem pendidikan kita mungkin ga semuanya buruk. Terlebih mengaplikasikan suatu kurikulum memang ga semudah membalikkan telapak tangan. Tapi sungguh saya gemes dengan kurikulum sekolah anak sekarang yang menurut saya ga manusiawi. Dan coba lihat deh outputnya, meski ga bisa digeneralisir, tapi munculnya kasus-kasus macam kecurangan UN, katrol-katrolan nilai oleh guru, dan kasus-kasus 'memalukan di dunia pendidikan' lainnya bukankah hulunya dari beban siswa dan guru yang terlalu berat ? Mengapa ga kita pertimbangkan untuk meringankan kurikulum yang terlalu setinggi langit? Kemarin saya sempat menaruh harapan besar pada Kurikulum 2013, meski mengandung pro dan kontra tapi saya nilai lebih manusiawi dibanding kurikulum sebelumnya. Nah sebelum di-launching kenapa pemerintah kita ga belajar atau studi banding gitu ke negeri yang sistem pendidikannya bagus kayak Finland ini? Biar mateng dulu, biar guru dan murid ga bingung, biar anggaran pendidikan ga mubazir untuk pelatihaan dan pengadaan buku ini itu. Lah dari pada studi banding ke Yunani yang jelas-jelas udah bangkrut....

Yah... berhubung saya cuma komentator dan belum pernah sekalipun jadi menteri pendidikan, jadi maap ya kalo banyak banyak salahnya. Tapi saya yakin tetep banyak yang setuju sama pendapat saya ini kok. Saya hanya kasian melihat anak-anak saya kelak dihajar habis-habisan oleh beban sekolah yang berat, sementara waktu bermain dan masa kanak-kanak mereka tidak akan pernah terulang. 

Untuk yang tinggal di kota besar mungkin banyak pilihan sekolah dengan berbagai metode pendidikan yang bisa dipilih sesuai dengan keinginan orang tua. Tapi untuk yang tinggal daerah, pilihan sekolahnya terbatas dan hanya memakai metode pendidikan yang diberikan oleh pemerintah. So.... saya doakan Pak Anies Baswedan yang pernah punya ide cemerlang dengan Program Indonesia Mengajar dan Kelas Inspirasi juga bisa punya cara brilian untuk membenahi sistem pendidikan kita yang kadung acak adul. Semoga.


Read More

Friday, 13 March 2015

3 M = Masa Masa Mesra

Saya adalah penggemar berat lagu-lagu Sherina Munaf masa kecil seperti Pelangiku, Andai Aku Besar Nanti, Dua Balerina, dan yang lain. Sejak dulu, hingga sekarang sudah hampir beranak dua saya masih sering menyenandungkannya. Saya tidak pernah bosan dengan lagu-lagunya karena liriknya yang tidak terlalu sederhana, musiknya yang bikin nyamaaaan banget, juga suara Sherina cilik yang menggemaskan tapi luar biasa merdu. 

Di antara semua lagunya, saat ini saya sedang tergila-gila dengan satu lagunya berjudul Andai Aku Besar Nanti. Ini gegara akhir-akhir ini Edsel mesraaaa sekali dengan saya. Tidur yang biasanya dengan Ayah sekarang harus dikeloni Ibu, makan, mandi, membaca buku, bermain, dan apapun harus dengan Ibu. Tidak boleh tidak ! Jika Ibu ada di rumah, hukumnya fardhu ain untuk melakukan segala sesuatu dengan Ibu. Selain itu Edsel serriinggg sekali tiba-tiba memeluk dan mencium saya sambil bilang, "Ibuku yang cantik". Frekuensi dalam sehari bahkan bisa melebihi hitungan jari tangan. Aduuhh hati saya meleleh seleleh-lelehnya. Belum lagi jika dia terbangun tengah malam. Bibirnya langsung mencium pipi saya dan kembali tidur sambil mengeloni saya. 

Hal-hal kecil seperti itu yang membuat saya mbrebes mili setiap mendengarkan lagu Andai Aku Besar Nanti. Liriknya membuat saya berandai-andai jika itu adalah suara hati Edsel untuk ayah ibunya. Musik yang indah mendayu, dan suara khas Sherina kecil yang kekanak-kanakan tapi serius membuat saya selalu memutar mp3-nya di kantor sambil menambah kadar rindu saya untuk si anak lanang yang saat ini sudah berumur 4 tahun. Hmm...masa-masa mesra ini jangan cepat berlalu ya meski kelak engkau dewasa, Nak.


Andai aku t'lah dewasa
Apa yang 'kan kukatakan
Untukmu idolaku tersayang
Ayah... Oh...

Andai usiaku berubah
Kubalas cintamu bunda
Pelitaku, penerang jiwaku
Dalam setiap waktu

Oh... Kutahu kau berharap dalam doamu
Kutahu kau berjaga dalam langkahku
Kutahu s'lalu cinta dalam senyummu
Oh Tuhan, Kau kupinta bahagiakan mereka sepertiku

Andai aku t'lah dewasa
Ingin aku persembahkan
Semurni cintamu, setulus kasih sayangmu
Kau s'lalu kucinta

Andai usiaku berubah
Kubalas cintamu bunda
Pelitaku, penerang jiwaku
Dalam setiap waktu

Oh... Kutahu kau berharap dalam doamu
Kutahu kau berjaga dalam langkahku
Kutahu s'lalu cinta dalam senyummu
Oh Tuhan, Kau kupinta bahagiakan mereka sepertiku

Andai aku t'lah dewasa
Ingin aku persembahkan
Semurni cintamu, setulus kasih sayangmu
Kau s'lalu kucinta

I love you, Ayah... I love you, Bunda...



Read More

Thursday, 8 January 2015

Rindu

Rindu adalah sesuatu yang kau selipkan di sela-sela kalbu
Menggerayangi logika
Menelanjangi kesombongan
Menitipkan kencan manis pada pendar-pendar mata
Meracuni mimpi dengan batas-batas kabur


Ibu rindu Nak ……

Tata Pemerintahan room : 11.27 pm
Read More

Friday, 19 December 2014

Dapat Apa ?



Mungkin bisa dikatakan saya bukan orang yang berbakat kaya. 

Saya sering berdebat dengan seorang teman, bukan berdebat sih sebenarnya, hanya ngobrol tapi banyak beda pendapatnya, jadi kayak debat secara terselubung gitu, he he he... Kenapa saya terbilang bukan orang berbakat kaya? Karena jika dibandingkan teman saya itu, saya ini orang yang terlalu cepat merasa puas dengan materi yang saya punya selama ini. Saya juga orang yang tidak pintar melihat 'celah uang' di pekerjaan saya. 

Apa iya sih saya tidak bisa melihat celah itu ? Kalo boleh jujur sebenarnya saya bisa melihat peluang-peluang yang bisa saya manfaatkan untuk keuntungan pribadi. Baik celah itu melanggar hukum, atau yang sebenarnya aman-aman saja. Tapi memang benar kata teman saya itu, saya ini orang yang cepat puas. Dengan HANYA gaji saja, saya ini sudah rela bekerja mati-matian mencurahkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk pekerjaan saya. Kenapa ? Karena saya sudah mendapatkan gaji, dan memang untuk bekerja sebaik mungkin saya digaji. Ih terdengar sok idealis ya ? Mungkin iya, terdengar seperti sok ya? Tapi bener deh, saya ini sudah merasa bahagia sekali jika tugas saya selesai dengan baik. Hanya itu. Perkara saya dirugikan karena terkadang harus bekerja lewat jam kantor, atau terpaksa membawa pulang kerjaan dan income yang saya terima hanya itu-itu saja, itu ga mengganggu pikiran saya. Saya merasa terganggu jika pekerjaan yang menjadi tugas saya selesai lebih dari waktu target, atau selesai namun dengan hasil yang buruk.

Itulah mangkanya saya ga berbakat kaya karena saya memang tidak pintar memperhitungkan untung rugi. Saya hanya memperhitungkan puas ga puas, nyaman ga nyaman. Tapi saya toh bahagia dengan keadaan yang seperti sekarang. 

Apa saya ga pingin punya income lain-lain dengan memanfaatkan bidang tugas saya, dengan kemampuan dan kesempatan yang saya miliki? Jawaban untuk apa ga pingin duit sih saya jawab pasti pingin. Tapi untuk memanfaatkan peluang itu yang saya males. 

Menurut saya, tolak ukur kebahagiaan setiap orang berbeda-beda. Ada orang yang bahagia dengan materi. Dia bahagia ketika mendapat keuntungan materi dari setiap hal yang dia kerjakan. Setiap pikiran dan tenaganya dicurahkan untuk mendapatkan materi yang lebih baik dan lebih banyak dari yang dia punya sekarang. Dan itu sah-sah saja. 

Namun ada juga orang yang, bukannya tidak menyukai materi, tapi dia tidak tergantung dengan itu untuk merasa bahagia. Mungkin bisa dikatakan golongan kedua ini adalah orang yang malas dan tidak mau ambil risiko kayak saya. Tapi lagi-lagi saya tidak melulu tergantung dengan uang untuk bahagia. Ketika berproses untuk menyelesaikan pekerjaan, saya bahagia. Proses itu yang membuat saya puas, kebutuhan untuk aktualisasi diri sudah terpenuhi, dan itu salah satu yang membuat saya bahagia meski saya tidak mendapatkan uang dari proses itu.  

Ahh...hari Jumat bicaranya berat ya? Tapi sungguh, ini sebenarnya ganjalan yang sudah lamaaaa pingin saya curhatkan di blog, tapi ragu-ragu karena takut menyinggung salah satu pihak. Tapi ya sudahlah, daripada saya bisulan gara-gara menyimpan beban pikiran (ceile...beban pikiran), saya tulis saja. Toh saya wanita hamil, kan pasti pada dimaklumi jika bicara apa adanya. Ha ha ha ...apa hubungannya coba !!
Read More

Thursday, 18 December 2014

Mendefinisikan Edsel



Edsel adalah tentang  semua hal yang kusebut cinta
Edsel adalah separuh ruh yang lebih berat kadarnya dibanding separuh ruh yang lain
Edsel adalah isak tangisku yang tertahan di setiap ketakutan, rasa khawatir, penyesalan, dan kerinduan
Edsel adalah senyumku tanpa beban, tawa tanpa risau
Edsel adalah penyunting kebahagiaan tanpa permisi
Edsel adalah tambahan menit-menit doa di setiap simpuh sujud

Edsel lebih nikmat dari secangkir kopi, sepotong  coklat, dan novel Sherlock Holmes



3 Tahun 9 Bulan

Dia masih tetap berpipi gembil dengan rambut yang hitam dan sedikit kaku

Dia suka bertanya membanding-bandingkan banyak hal : antara kekuatan Tyrex dan Krisna, kekuatan Ayah dengan dirinya, lebih besar mana sandalnya dengan sandal Najwa (teman mainnya), kuat mana antara Casper dengan Bima, dan semua hal lain yang ingin dia bandingkan. Suka-suka dia.

Dia masih suka dengan dinosaurus, dengan favoritnya tetap Tyrex.

Dia penyuka tokoh antagonis di setiap dongeng, cerita, dan film.

Dia tidak lagi menolak ketika di foto atau direkam

Dia masih tetap berkeringat asem

Jika mandi masih sulit untuk diguyur wajahnya.

Coklat masih menjadi makanan kesukaannya 

Tidak makan permen lagi meskipun pingiiiiinnnya sampe ke ubun-ubun

Rutin gosok gigi sesudah makan dan sebelum tidur, meski mata sudah berat mengantuk

Mood-nya sering berubah tiba-tiba. Sekarang lagi ketawa-ketiwi, 5 detik kemudian jadi monyong kesel

Tantrum ? Never !




Read More

Tuesday, 4 November 2014

Cinta Dalam Seorang Robin Lim

Kecantikannya seperti khas wanita Indian. Memang ada darah Indian dari ayahnya yang keturunan Jerman. Sedang ibunya seorang campuran Filiphina dan China. Robin Lim. Ia tak sepopuler tokoh politik, pejabat, atau artis yang saban hari wara-wiri di layar televisi Indonesia. Ya, ia tak seterkenal mereka bagi kita. Tapi jangan tanya jiwanya, jangan tanya hatinya, jangan tanya kemampuannya, jangan tanya pengabdiannya. 


Kalo saja televisi kita lebih sering menampilkan orang-orang insipratif, orang-orang yang membawa banyak kebaikan untuk lingkungannya, orang-orang dengan jiwa pejuang tanpa pamrih, orang-orang dengan banyak ilmu yang bermanfaat, maka mungkin banyak virus kebaikan yang lebih cepat menular dibanding virus tensi tinggi atau virus hedonis yang sudah kadung parah.

Robin Lim mendirikan klinik di Ubud, Bali dengan nama Yayasan Bumi Sehat. Klinik yang sama juga kemudian ia dirikan di Meulaboh Aceh pasca tsunami 2005 silam. Klinik ini adalah klinik ibu dan anak untuk segala jenis kelas dan strata tanpa meminta bayaran sepeserpun alias gratis, kalo hendak member donasi seikhlasnya dipersilakan. Meskipun cuma-cuma, tapi pelayanan di klinik ini tak main-main, sungguh-sungguh bagus dan professional. Kursus prenatal macam yoga dan senam hamil juga diadakan di klinik ini, sekali lagi : GRATIS.

Selain melayani ibu hamil dan melahirkan, klinik Bumi Sehat juga membantu ibu dan bayi pasca persalinan. Robin sepertinya tak ingin menuntaskan kasih sayangnya begitu saja, bahkan ketika ibu dan bayi membutuhkan kehadiran dan pertolongannya setelah melahirkan.

Robin menekankan proses kelahiran gentle birth untuk wanita melahirkan. Gentle birth adalah melahirkan dengan alami, natural, tanpa banyak intervensi medis yang tak perlu (kecuali untuk indikasi medis yang memang mengharuskan untuk melahirkan dengan operasi caesar). Tak banyak teknologi modern di klinik ini selain mesin USG, ia juga tak banyak memberi obat-obatan kepada wanita hamil selain vitamin yang itu pun juga gratis. Ia percaya dengan cara-cara alami akan banyak memberi manfaat bagi bayi dan ibu. Wanita hebat ini juga mengedukasi pasiennya untuk hanya memberikan ASI pada bayinya dan menyajikan MPASI buatan sendiri.

Sebenarnya yang istimewa dari Robin Lim adalah cintanya yang begitu besar pada pasien-pasiennya. Ia selalu memeluk dan mencium hangat ibu-ibu yang datang padanya, juga bayi-bayi mungil yang mereka lahirkan. Selalu. Ia sangat pecaya bahwa cinta akan membuat rileks dan mengurangi setiap penderitaan dan rasa sakit. Bahkan ia tak segan-segan datang langsung sendiri ke rumah pasien jika mereka tidak bisa dibawa ke klinik. Tak ada perbedaan dalam melayani semua kalangan, miskin kaya semua diperlakukan penuh cinta. “Melahirkan adalah peristiwa yang sangat beresiko bagi seorang perempuan. Sakit. Mereka bertaruh nyawa. Saya selalu menganggap pasien yang melahirkan di sini sebagai anak saya. Sentuhan kecil saja sangat berarti bagi mereka. Dengan begitu kesakitan mereka berkurang,” kata Robin.

Robin juga membagikan ilmunya lewat buku-buku yang ia tulis di antaranya Anak Alami dan ASI Eksklusif Dong ! Buku ini ga dijual lho, tapi diberikan scara gratis jika kita mengirimkan email ke website Bumi Sehat. Atau didownload di website itu juga bisa. Bener-bener ga komersiil.

Jika ditanya dari mana dana untuk biaya operasional klinik ? " Sampai sekarang saya tidak berhenti mengirim permohonan dana, ke luar negeri", jawab ibu dengan 5 anak ini. Sebagai klinik yang ‘bersih’, Bumi Sehat tidak pernah menerima bantuan atau sponsor dari perusahaan susu formula meski mereka rajin memberi pendekatan kepada Robin. Bahkan Robin juga pilih-pilih untuk menerima donasi dari perusahaan-perusahaan lain. Perusahaan yang bidang usahanya merusak lingkungan dan hutan, akan ditolaknya mentah-mentah meski uang yang mereka berikan bisa menyambung hidup klinik, meski diakuinya ia kembang kempis dengan dana yang ada. Robin tak butuh uang dari mereka yang hanya egois memikirkan keuntungan tanpa mencintai masa depan anak dan lingkungan.

Robin Lim, wanita yang lahir di Arizona Amerika, besar di Filiphina, memberikan cintanya untuk Indonesia. Bukan karena uang yang lebih menggiurkan, bukan karena kepopuleran yang lebih menjanjikan, tapi karena cinta. Cinta seorang Robin Lim.


Yang berupa kutipan perkataan Robin diambil dari : akarumput.com
Read More
Powered by Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

© 2011 Everything is Beautiful, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena