cinta kami ada dalam secangkir kopi, sepotong coklat, dan di blog ini..

Saturday 16 August 2014

Cantik !!

 
Saya sempat mempertanyakan dari mana awal mulanya definisi bahwa cantik itu adalah putih, tinggi, langsing. Lalu bagaimana dengan nasib kami-kami yang tidak memiliki kriteria seperti di atas? Bagaimana dengan kami yang gemuk, yang berkulit coklat atau hitam, atau yang pendek imut seperti saya? Hahaha.... 

Bagaimana juga dengan teman-teman kami yang terlahir dengan kekurangan anggota badan? Apakah kami tidak berhak menyandang status cantik? Apakah Tuhan menutup rapat-rapat pintu kecantikan untuk kami dengan memberi kami fisik yang tidak putih, tidak tinggi, atau tidak langsing ? Rasanya kok tidak mungkin ya Tuhan setidak adil itu.

Belakangan kriteria cantik didengungkan bahwa bukan semata kecantikan fisik, tapi lebih ke brain dan behaviour. Pemilihan putri-putrian pun ditegaskan bahwa kecerdasan dan kepribadianlah yang utama. Omong kosong sekali pikir saya. Lha wong syarat mendaftarnya saja dibatasi harus yang punya tinggi minimal sekian, berat badan proposional, harus beranggota badan lengkap, harus bla bla....yang lagi-lagi mengarah ke diskriminasi fisik. Lantas apakah  wanita-wanita yang tidak punya penampilan menarik harus menjadi penonton saja? Padahal mereka punya brain dan behaviour yang tidak kalah dengan para wanita yang memenuhi syarat ikut kontes kecantikan itu.

Saya suka kasihan dengan cewek-cewek remaja tanggung yang sering jadi bulan-bulanan hanya karena mereka berkulit tidak seputih teman-teman yang lain, atau punya berat badan yang lebih dibanding yang lain, atau bermata juling, atau punya hidung mlesep, atau punya badan yang mlesep juga seperti saya (Hehehe....). Seolah-olah kok asyiiikk sekali kegiatan ledek-meledek kekurangan fisik itu. Bahkan kemudian ada yang diberi julukan sesuai fisik mereka. Pernahkah mereka menengok hati teman-teman mereka? Bagaimana rasanya kekurangan fisik itu dijadikan bahan lelucon sehari-hari? Bagaimana rasanya jika mereka sudah merasa 'menderita' dengan kekurangan itu kemudian masih ditambah dengan 'menderita' karena sering diejek? Lantas kepada siapa mereka protes? Itu pemberian Tuhan lho, sang Pencipta Yang Paling Baik. Tuhan sudah mengukur dengan ukuran yang terbaik.

Tapi kemudian akhirnya saya berpikir bahwa kecantikan yang diukur dari kesempurnaan fisik adalah hal yang wajar. Setiap orang suka melihat yang indah dan 'bersih'. Kontes kecantikan apa pun namanya tetaplah diawali dari sesuatu yang good looking dahulu baru kemudian diikuti oleh good brain dan good behaviour. Apa pasal? Adalah hal yang pasti bahwa yang dilihat manusia pertama kali adalah luar alias fisik. Maka selama kecantikan itu dinilai oleh manusia, tidak seharusnya saya sebagai yang tidak masuk dalam barisan cantik, boleh protes. Dan saya pun membentuk barisan sendiri : barisan merasa cantik !

Kembali kepada "bahwa Tuhan sudah menciptakan segala sesuatu dengan ukuran yang terbaik", maka saya selalu yakin kita semua cantik. Bukan dengan penilaian manusia tapi penilaian Tuhan. Padahal siapapun pasti mengamini bahwa Sang Pencipta penilaian yang terbaik. Maka jika Tuhan memberi saya fisik yang tidak cantik maka itu adalah yang terbaik. Jika fisik saya cantik mungkin saya jadi merasa sombong, atau lupa diri, atau terperosok kepada hal-hal yang buruk. Maka beginilah cara Tuhan menjaga saya.

Jika fisik saya cantik maka mungkin saya jadi enggan menggali potensi diri lain yang sebenarnya jauh berharga, karena saya sudah merasa cukup dengan kecantikan fisik ini. Jika fisik saya cantik maka mungkin saya jadi mencari jodoh dengan kriteria fisik juga, dan mengabaikan kriteria kepribadian yang lebih penting.

Saya merasa cantik ketika saya tidak minder dan malu, maka saya memupuk rasa percaya diri. Saya merasa cantik ketika saya pintar, maka saya harus belajar. Saya merasa cantik ketika saya sopan, maka saya belajar etika. Pada akhirnya ketidakcantikan fisik saya memberi saya jauh lebih banyak, jika dibandingkan saya diberi kecantikan yang sempurna oleh Tuhan. Karena Tuhan tahu kok bahwa apa yang ada dalam diri saya sudah merupakan yang terbaik. Wanita lain yang diberi kecantikan fisik sudah mensyukuri dengan baik, maka saya juga harus mensyukuri apa yang sudah diberikan kepada saya dengan sebaik-baiknya. Bukankah bersyukur adalah tentang bagaimana kita menggunakan pemberian dengan jalan yang baik?
Read More

Friday 1 August 2014

Mengintip Mozaik Kehidupan Kita


Pernah tidak dalam hidup kita yang sekarang ini jika kita runut kembali adalah potongan mozaik-mozaik masa lampau? Entah mozaik itu berupa angan-angan, cita-cita, atau hanya sekedar celetukan. Saya pernah membaca tentang mozaik-mozaik ini di novel Edensor-nya Andrea Hirata dan sepertinya ada benarnya. Walaupun mungkin itu hanya kebetulan belaka. 

Contohnya begini, misalnya waktu masih kecil kita pernah ngebatin kok rumah yang setiap minggu kita lewati saban ke rumah embah itu orangnya ga pernah keluar ya? Kayak apa keluarga yang ada di situ? Kok suasana rumahnya unik ya, beda ama rumah-rumah yang lain? Ehh berpuluh tahun kemudian, anak yang punya rumah itu jadi suami kita. Padahal selama rentang berpuluh tahun itu kita ga pernah bergaul sama penghuni rumah itu lho. Ketemu juga setelah sama-sama dewasa. (Saya ngakuuuuu, ini kisah sayaaaa. Hahaha...)

Itu baru satu contoh, masih banyak lagi yang lain. Misalnya lagi nih ya, sewaktu kami masih SMP, sepupu-sepupu saya sering sekali menceritakan diajak sama Bapak Ibunya ke Gunungkidul, cuma naik motor. Aduuh ceritanya seruu sekali dengan gaya yang dilebih-lebihkan karena bermaksud pamer, biasa anak kecil. Kalo ke Jogja sih kita biasanya kita rame-rame satu keluarga gitu, itu pun saya cuma nebeng, hehe... Tapi kalo ke Gunungkidul naik motor?? Wah cuma saya yang belum pernah ngerasain. Mendengar cerita mereka, saya bisanya cuma membayangkan sambil memendam dalam-dalam keinginan untuk seperti mereka. Belasan tahun dari cerita itu, belasan tahun dari keinginan yang saya pendam dalam-dalam itu, saya bekerja di Gunungkidul. Naik motor setiap hari ke Gunungkidul, bahkan hampir khatam mengelilingi Gunungkidul. Potongan mozaik kehidupan saya, kembali dipertemukan.

Atau kisah lain ketika saya hamil, ada salah seorang ibu yang bicara meledek saya dengan mengatakan nanti kalo anaknya menikah dia tidak sudi buru-buru punya cucu. Punya cucu itu merepotkan, biaya hidup jadi mahal. Mending nanti-nanti aja hamilnya, jangan buru-buru, senang-senang dulu. Sakiitt sekali hati ini mendengarnya. Entah kebetulan atau tidak, setelah menikah anaknya segera hamil persis kayak saya, tapi bayinya meninggal setelah dirawat intensif beberapa hari. Lama setelah itu, anaknya baru bisa hamil lagi. Itu pun dengan perjuangan yang luar biasa berat dan memakan biaya. Mungkin Allah mendengar kata-katanya bahwa punya cucu itu merepotkan. Maka mungkin Allah membuat cucu itu 'jauh' darinya. Hanya mungkin. Toh Allah saja yang tahu apa yang terbaik untuk dia.

Ada banyak sekali kisah di kehidupan saya yang sebenarnya mengulang cerita yang belum selesai di waktu dulu. Mungkin hanya kebetulan, mungkin juga saya yang terlalu sentimentil menghubung-hubungkannya, toh itu hanya kisah-kisah remeh. Tapi bagi saya mozaik-mozaik yang mungkin hanya kebetulan itu, memberi saya setidaknya satu pembelajaran untuk tidak nyeletuk sembarangan atau mengolok-olok orang lain seenaknya. Saya takut kejadian yang sama akan terjadi pada saya. Saya sedang berusaha untuk ngomong,_terlebih-lebih di depan orang lain_yang baik-baik saja. Saya sedang berusaha. Sedang.

Bukankah kata orang Jawa uni minangka donga (ucapan adalah doa) ?
Read More
Powered by Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

© 2011 Everything is Beautiful, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena