cinta kami ada dalam secangkir kopi, sepotong coklat, dan di blog ini..

Monday 25 September 2017

3 Keinginan

Saya suka iseng bikin 3 daftar keinginan duniawi yang bisa saya wujudkan dalam waktu dekat. Memang ga selalu bisa terwujud semua sih, bahkan kadang tak ada satu pun yang terwujud. Bhahaha... Tapi, minimal saya jadi punya 'pagar pembatas' untuk fokus membeli atau bikin yang ada dalam list itu, bukan ngelantur ke hal-hal di luar daftar.

Bulan ini saya punya 3 keinginan yang agak tidak sederhana.

1. Jaket Ako

Ya ampuuun jaket ini sudah lama masuk dalam list keinginan saya nun entah kapan tahu. Tapi belum juga saya wujudkan karena harganya yang mehong di kantong saya. Selain itu jaket yang lama masih baguuus, muluuuus, hadiah dari Abangda Dedy *haelah jadi ikut-ikutan pake bahasa Muzammil Hasballah-Sonia Ristanti. 

Seminggu yang lalu jaket hadiah itu sudah RESMI rusak, tak bisa dipakai lagi!. Eng ing eenggg... Oh inikah waktunya untuk membeli jaket Ako?? 😰

Jaket Ako warna magenta terlihat manis.
Nah Ako yang ini terlihat unik


2. Novel Murder on The Orient Express karangan Agatha Christie

Tetiba saya rindu kejeniusan  Agatha Christie meramu alur cerita misteri pembunuhan setelah sekian lama hanya melulu nguber Sherlock Holmes-nya Sir Arthur Conan Doyle yang cool itu. Dan meski sejak dulu saya penggemar buku-buku Agatha Christie, tapi memang belum ada satu pun buku dia yang saya punya. Dulu hanya modal pinjem di perpustakaan doang.😃. So....bolehlah kali ini saya memanjakan diri dengan memasukkan buku ini dalam daftar keinginan. Terlebih kalau bisa punya yang seri bundel. Haappp, macam ketiban durian runtuh.

Gambar diambil dari id.carousell.com


3. Pergola tanaman rambat

Dilatarbelakangi oleh jendela sisi barat rumah yang terbuat dari kaca_yang jika di siang dan sore yang terik, ruangan dengan jendela itu akan terasa panas dan silau tanpa ampun_maka saya pun mendamba punya pergola yang ditumbuhi tanaman rambat yang rimbun. Aihh.... cantik sejuk di mata nian andai itu terwujud. Dan pastinya panas dan silaunya jadi jauh berkurang.

Jangan su'udzon ya, ini bukan rumah saya.😁. (Tapi tolong doakan agar rumah saya bisa seperti ini. aamiin)

Jangan curiga lagi, ini juga bukan rumah saya. Hahaha... Tapi bolehlah ya jadi rumah saya 😊

Yeah, meskipun di antara 2 keinginan yang lain, keinginan yang terakhir ini yang paling sulit terwujud, tapi tetep harus saya masukkan nih dalam daftar. Itung-itung doa, dan biar makin semangat mewujudkan. Sulitnya yaitu ada pada ketersediaan sisa lahan. Sisa lahan sebelah barat bangunan hanya tinggal kurleb 0,5 meter. Gila kan men mau nanem dengan lebar cuma segitu. Ke timur mentok dinding rumah, ke barat nyenggol pekarangan orang. Sebenarnya bisa sih ditanam di pot, tapi pertumbuhan kurang bagus, mau sampai kapan bisa tumbuh sampai atas agar menaungi jendela?? Atau opsi lain, perkerasan di sisa lahan itu dihancurleburkan trus tanam tumbuhan rambat tak berkayu. Tapi apa kabar dengan selokan yang ada di situ?? Hiks.

Kesulitan lain, bikin pergolanya mahal yak? Arrghhh.   End.


Jadi sesungguhnya apa niat di balik tulisan ga penting ini? Tulisan ini adalah pengalihan isu atas apa yang sebenarnya ingin saya tulis, tapi kayaknya topiknya berat. Ouch... Makin nulis kok makin ga karuan isinya, menyinggung pihak sana pihak sini. Maka mari mendinginkan pikiran dengan menulis yang ringan-ringan saja. Siapa tahu ada yang lagi nyari kado buat ulang tahun saya bulan depan, maka mari melihat daftar di atas. Hahaha... #losehat?






Read More

Thursday 7 September 2017

Panci Presto Kesayangan


Barangkali satu-satunya hal yang membuat saya tidak  malas mengolah dedagingan adalah karena di dunia ini telah ditemukan alat bernama panci presto. Bagaimana tidak, bagi saya, panci bertekanan tinggi ini adalah pahlawan dalam kondisi tertekan membayangkan betapa lama dan betapa boros gas yang harus saya habiskan untuk mengempukkan daging.#emakemakirit

Panci presto yang saya punyai ini, saya beli kurang lebih 7 tahun yang lalu. Masih bertahan hingga sekarang, dan masih tetap jadi andalan saat masak daging-dagingan semisal daging sapi dan daging ayam kampung yang kadang alotnya na'udzubillah. Ga cuma dedagingan aja sih si panci ini saya panggil, tapi saat harus mengolah kacang ijo yang juga butuh waktu lama untuk empuk jika dimasak dengan panci biasa.

Meski masih bertahan hingga bertahun-tahun, jangan membayangkan panci ini adalah panci mahal bermerk yang bikin suami mual-mual saat melihat struk harganya. Ini murah sajah! Saya lupa sih harga tepatnya, tapi seingat saya panci ini saya beli sekitaran harga 250 ribuan. Murah yang amat sangat untuk sebuah panci presto berukuran medium. Tapi masuk akal juga sih kalo murah, lha wong merknya aja ga ada yang kenal. Hanya seperti merk KW KW-an atau barang buatan Cina. Tapi jangan tanya hasil kerjanya deh, memuaskaaaan (minimal begitulah pengalaman saya selama 7 tahun ini).

Untuk daging sapi hanya butuh waktu 20 menit untuk bener-bener empuuuuk. Daging ayam 15 menit. Kalo ayamnya ayam kampung yang super alot, tambahin dikit deh waktunya, dikira-kira aja. Kacang ijo 10 menit aja.

Tapi untuk bandeng presto, saya ga bisa kasih testimoni nih, soalnya belum pernah bikin, takut gagal. Hahaha. Kalo gagal, ga kebayang bandeng-bandeng itu masih penuh dengan duri-duri halus, ahh gimana makannya. Waktu-waktu yang saya sebutkan di atas dihitung sejak panci berbunyi "ngiiiiiiiing", seperti suara air mendidih dalam cerek, ya.

Cara memasak dengan panci ini sederhana banget. Cukup masukkan bahan-bahan yang akan diolah ke dalam panci bersama air hingga bahannya terendam. Untuk daging-dagingan terkadang saya masukkan bumbu-bumbunya sekalian ke dalam panci. Atau bisa juga cukup direbus dagingnya saja, bumbu belakangan setelah daging selesai dipresto. Tergantung mau dimasak apa sih.

Untuk bikin bubur kacang ijo, setelah kacang selesai dipresto, pindahkan ke panci lain bersama sisa air dalam panci presto. Tambahkan air secukupnya. Masukkan daun pandan dan gula jawa. Tunggu sampe mendidih yang palingan cuma bentar aja. Udah gitu aja, sederhana dan cepet banget.

Mungkin cara saya ini bertentangan dengan prinsip slowcook, mungkin juga rasanya tidak selezat jika dimasak dengan cara biasa karena waktu peresapan bumbu yang hanya sebentar. Tapi saya ini nyari cepet dan praktisnya saja biar tidak terlalu lama berkubang di dapur. Pan anak saya masih butuh kehadiran saya Mpok, bukan cuma butuh kenyang aja.😁




Read More

Wednesday 6 September 2017

Utang Pada Negeri


Membaca tulisan Frans Pati Herin di harian Kompas pada edisi Sabtu, 2 September 2017 berjudul Ke Pelosok Demi Membayar 'Utang', sungguh membuat saya mau tidak mau melongok kembali fakta di sana-sini tentang cerita anak negeri era dewasa ini.

Ke Pelosok Demi Membayar Utang adalah berita tentang anak-anak muda berusia 20-an yang meninggalkan kenyamanannya di rumah untuk mengabdi dan mengajar di daerah terpencil dan perbatasan. Bukan, bukan daerah terpencil di Pulau Jawa yang seterpencil-pencilnya masih bisa dijangkau dengan transportasi darat yang lumayan, tapi ke pelosok nun di pulau-pulau yang saya saja megap-megap membayangkannya. Untuk bisa mencapai ke daerah itu bisa berganti armada hingga 5-6 kali dengan pergantian moda ransportasi yang komplit : bis, pesawat udara, perahu, ojek, perahu cepat, jalan kaki! Jangan tanya soal biaya yang dibutuhkan untuk ke sana, bisa mencapai jutaan rupiah. Jangan tanya pula tentang waktu perjalanan dan rasa lelahnya. Pun jangan tanya tentang mahalnya harga barang-barang di sana dan kondisi sederhana yang mereka jalani karena uang saku dari pemerintah daerah yang jauh di bawah kebutuhan.

Jadi apa? Apa yang mereka cari dengan semua kegilaan itu? Mereka bukan PNS yang sudah diberi jaminan gaji oleh negara. Mereka tidak dipaksa oleh entitas apa pun untuk melakukan semua itu.

"Hampir sebagian besar biaya pendidikan saya adalah beasiswa. Itu saya anggap sebagai utang dan mengabdi ke pelosok adalah cara saya membayar 'utang' itu kepada negara," kata Atina.

Utang. Membaca sepenggal jawaban dari Atina Handayani (28) lulusan Sastra Perancis Universitas Gadjah Mada yang berasal di Yogyakarta sontak membuat saya malu. Selanjutnya menggigil, mencari-cari apa yang sudah saya baktikan demi utang yang juga saya punyai untuk negeri ini?

Sejak SD sampai SMA saya juga sering mendapat beasiswa. Kuliah pun tak sepeser saya keluar uang. Lalu sampai di mana 'pembayaran utang' saya? Dengan pengabdian saya yang hanya dimulai dari pukul 07.30 sampai dengan 15.30? Dengan jaminan setiap bulan mendapat gaji yang lebih dari cukup untuk saya syukuri? Kemudian tidak bisa tidak, saya mulai usil membandingkan dengan keadaan di sana sini sebagian kecil dari kita yang mendapat keberuntungan beasiswa pendidikan ditambah keberuntungan langsung ditempatkan sebagai PNS, namun kemudian ongkang-ongkang kaki tanpa loyalitas memadai. Apa kabar mereka? Berapa utang mereka pada negeri? Berapa ongkos mereka untuk berbakti? 

Ahh, ujungnya-ujungnya saya hanya jadi tukang teriak-teriak saja di blog. Betapa makin menumpuknya utang yang tidak saya tunaikan.
 
Read More
Powered by Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

© 2011 Everything is Beautiful, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena