Hari Kamis ketika mengantar si Ed TPA di masjid, saya dimintai tolong untuk membuat sebuah cerita karena hari Minggunya mau ada lomba FASI (Festival Anak Islami) tingkat kecamatan yang salah satu kategori lombanya adalah cerita anak Islami. Dan cerita itu harus selesai hari Jumat karena mau dipake latihan anak yang ikut lomba, berarti waktu saya cuma 1 malam untuk membuat cerita itu. Saya yang ketika itu dimintai tolong oleh Ustadnya cuma iya-iya aja, padahal saya udah lamaaaa banget ga nulis cerita. Yo wis saya anggap tantangan aja deh. Saya juga pingin tahu sedangkal apa semangat menulis saya, dan sejelek apa tanggapan orang lain membaca tulisan saya.
Waduh belum sampai dapat setengah cerita, si Ed udah kumat kolokannya minta ditemenin main. Ya maklum deh, saya biasanya pegang kerjaan setelah dia tidur. Jadilah sisa cerita saya selesain di kantor. Ha ha ha.. Dan karena bikinnya di kantor jadi ga bisa maksimal deh nelurin ide-ide. Ceileh ayam kali nelurin...
So, dengan segala keterbatasan ini lah cerita itu. Tapi lumayan juga sih, tadi dapat berita kalo lomba kategori ini dapat juara satu. Alhamdulillah... Mungkin anaknya yang hebat, bukan ceritanya.
(Ini saya copy paste aja dari Word karena males ngetik ulang dan karna belum nemu cara selain itu)
PELAJARAN DARI
USAMAH
By : Rahmawati
“Arang! Arang! Arang!”
Uh Usamah sebal sekali dengan julukan
itu. Apalagi jika di sekolah ada pelajaran yang kebetulan memuat kata ‘arang’,
semua teman pasti langsung tertawa dan menoleh padanya. Seolah-olah kulit hitamnya ini adalah hiburan
gratis yang menyenangkan untuk teman-temannya. Menjadi bahan ejekan
sehari-hari, lelucon rutin di setiap berkumpul.
Kalau boleh memilih tentu dia tidak
mau lahir dengan kulit hitam legam seperti ini. Dia ingin kulitnya langsat
seperti Wibi, atau setidaknya coklat sawo matang seperti Haidar. Tapi dia?
Hitam, benar-benar hitam. Memang tidak sehitam kulit orang Afrika yang seperti
dia lihat di TV, tapi tetap saja di antara teman-temannya dialah yang berkulit
paling gelap.
“Ah, Allah memang tidak adil” gerutu Usamah.
“Kalau Allah sayang aku, harusnya aku tidak diberi kulit seperti ini sehingga
teman-teman tidak terus-menerus mengejekku”.
“Usamah, kamu harus bersyukur. Kamu
terlahir dengan anggota badan yang lengkap dan sehat. Lihat deh, banyak orang
lain di luar sana yang tidak punya tangan, tidak punya kaki, tidak bisa
mendengar, tidak bisa bicara. Warna kulit kamu tidak ada apa-apanya dibanding
penderitaan mereka.” Itu yang selalu dinasihatkan Ibu kepadanya. Ahhhh…tidak
ada apa-apa bagaimana?? Mudah saja Ibu bilang begitu karena bukan Ibu yang
sering diolok-olok. Apalagi jika diperhatikan warna kulit arangnya ini mungkin
warisan dari Ibu. Lihat saja, Ayahnya berkulit sawo matang bersih. Nah Ibunya
lah yang punya kulit sama seperti dirinya. Uh, Usamah makin sebal. “Semua ini
gara-gara Ibu…,” gerutu Usamah lagi.
Usamah sebenarnya anak yang cerdas. Ia
juga pandai bergaul. Tapi karena terlalu sering jadi bahan ejekan
teman-temannya ia jadi mudah tersinggung dan malas untuk lama-lama bermain
dengan mereka. Sebenarnya bukan ia saja yang punya kekurangan, ada juga anak
lain yang gendut atau berhidung pesek yang sebenarnya bisa saja ganti dia balas
mengolok mereka. Tapi Usamah tidak tega, rasanya tidak manusiawi sekali
kekurangan fisik dijadikan bahan lelucon, maka ia diam saja dan hanya
menggerutu dalam hati. Jika jam istirahat tiba, ia lebih senang ke
perpustakaan. Di perpustakaan tidak ada yang berani mengejeknya karena di
tempat itu dilarang ada kegaduhan. Anak-anak yang ke situ pun hanya datang
untuk membaca atau meminjam buku. Tidak ada yang mau tahu urusan anak lain atau
datang untuk bercanda-canda.
Hari ini ketika jam istirahat tiba,
Usamah datang ke perpustakaan seperti biasa. Dia menemukan sebuah buku lusuh di
tumpukan buku-buku lama yang jarang dibaca. Buku itu terlihat sangat tua
sekali, bahkan sampul depannya sudah lepas entah kemana. USAMAH MENCARI SYAHID
itu judul yang tertera di sampul lembar keduanya. Fisik bukunya tentu saja
tidak menarik untuk dibuka, tapi ia penasaran dengan judul buku itu. Usamah?
Selama ini ia hanya pernah mendengar cerita dari Ayahnya bahwa Usamah adalah
sahabat Nabi dan panglima perang yang pemberani, maka Ayahnya menamai ia
seperti itu agar ia juga mempunyai sifat tidak kenal takut dalam hal yang
benar. Ia tidak pernah tertarik mendengar cerita Ayahnya itu. Boleh saja nama
sama, tapi seorang panglima perang tentu sosok yang gagah, keren, dan tentu
saja tidak hitam legam seperti dirinya. Harapan Ayahnya agar ia seperti Usamah
sang panglima seperti olok-olok versi lain untuk dirinya.
Usamah dilahirkan
di kota Mekah. Ibunya mengandung dirinya karena perbuatan jahat sekelompok
laki-laki hitam yang sedang mabuk. Ia
meninggal ketika berjuang melahirkan Usamah ke dunia ini. Hanya diasuh oleh
kakeknya yang tua renta, Usamah dititipkan dari satu teman ke teman lain
kakeknya hingga sang kakek meninggal.
Ketika masih
kanak-kanak Usamah sering mendapat cemoohan dan dijauhi teman-temannya karena
dianggap anak pembawa malapetaka. Dalam pengasuhan Babur, sahabat baik kakeknyalah
Usamah pertama kali mendapat keahlian berperang. Babur pula yang mengajarinya
tentang akhlak. Babur mengajarkan apa yang diterimanya dari Rasulullah sehingga
Usamah tumbuh menjadi pemuda yang mahir berperang, berani, dan juga sopan
santun.
Di kota Mekah
orang-orang yang sudah masuk Islam sering mendapatkan penyiksaan dari
orang-orang musyrik. Lebih-lebih Rasulullah sendiri, beliau diancam akan
dibunuh. Untuk menyelamatkan diri para pengikutnya, Rasulullah memerintahkan
agar mereka hijrah ke Madinah. Setelah mendengar perintah itu, maka
berbondong-bondonglah para pengikut Rasul pindah ke Madinah, termasuk juga
Usamah dan Ummu Salma. Sepeninggal Babur, Usamah hanya tinggal berdua dengan
Ummu Salma, istri kakek Babur yang sudah tua renta. Dalam perjalanan hijrah ke
Madinah itu pun, Ummu Salma juga menghembuskan nafas terakhir.
Perang pertama
yang diikuti Usamah adalah perang Badar. Meski
dalam usia yang masih sangat muda, Usamah tidak gentar menghadapi lawan.
Bahkan dalam perang itu dia yang memojokkan Abu Jahal sehingga bisa dibunuh
oleh Hamzah. Saat itu Usamah dengan buas membantai musuh-musuhnya, tidak ada
seorang pun yang mampu menahan ayunan pedangnya.
Ketika usia Usamah
sudah dewasa dan sudah waktunya bagi dia untuk berkeluarga Rasulullah yang
mencarikan jodoh untuknya, yaitu putri Abdurahman bin Auf salah seorang sahabat
nabi yang kaya. Rasul pula yang
mencarikan biaya untuk keperluan perkawinan Usamah dari sedekah para sahabat
yang kaya. Usamah yang miskin, berwajah hitam dan jelek akan menikah dengan
seorang putri saudagar kaya yang cantik dan saleh.
Menjelang hari
pernikahannya, Usamah ke pasar hendak membeli baju baru dan berbelanja
keperluan pernikahan. Memasuki pintu pasar, orang-orang ribut dengan adanya
berita perang yang disampaikan dari mulut ke mulut. Mendengar berita itu jiwa
kepahlawanan Usamah berkobar kembali. Usamah bertekad untuk ikut membela nabi
dan rela membatalkan perkawinannya yang sudah di ambang pintu. Karena itu, uang
yang semula akan dibelanjakan untuk membeli keperluan perkawinannya, sekarang
malah dia belanjakan untuk alat-alat perang.
Rasulullah
tersenyum mendengar berita dari Ali bin Abi Thalib bahwa Usamah membatalkan
perkawinannya. Beliau sangat memuji kekuatan iman Usamah serta kesetiaannya
kepada perjuangan. Bahkan Rasul menunjuk dia sebagai pimpinan pasukan berkuda
pada peperangan di Kota Khaibar itu.
Setelah agama
Islam berkembang pesat di Madinah, maka Rasulullah melakukan penaklukan
terhadap kota Mekah. Dengan dikuasainya kota itu, maka tentara Islam menjadi
semakin kuat karena banyak Quraisy yang masuk Islam dan menjadi tentara Islam.
Tetapi ancaman
terhadap kaum muslimin sebenarnya masih sangat banyak, di antaranya ancaman
dari bangsa Romawi yang pada saat itu sedang menguasai kota Syam. Untuk
mempertahankan keamanan kaum muslimin dari gangguan tentara Romawi, maka
Rasulullah membentuk pasukan untuk mengusir tentara Romawi dari kota Syam.
Pasukan itu dilengkapi dengan persenjataan yang lengkap di bawah pimpinan
Usamah.
Ketika pasukan
Usamah tiba di tapal batas, mereka dipergoki mata-mata musuh. Orang itu ditawan
dan dihadapkan kepada Usamah untuk diperiksa.
“Bagus,
laksanakan tugasmu sebaik-baiknya. Sekarang silakan kamu kembali. Katakan kepada
pemimpinmu tentang kami!” kata Usamah. “Maafkanlah tentara kami yang telah
berbuat kasar kepadamu.”
Mata-mata itu itu
tidak segera pergi. Tampaknya ia kebingungan. Ia merasa kagum dengan perlakuan
panglima Islam yang begitu baik terhadap musuh. Maka akhirnya Elichis, si
mata-mata Romawi itu, bergabung dengan pasukan muslim karena luluh dengan
kebaikan hati Usamah dan pasukannya.
Kesempatan
beberapa saat beristirahat di tempat itu dipergunakan oleh Usamah dan
pasukannya untuk mengatur taktik penyerangan. Usamah adalah panglima yang telah
memiliki banyak pengalaman sehingga ia dapat mengatur taktik yang baik.
Terjadilah
pertempuran hebat antara kedua belah pihak. Tentara Romawi terkejut karena
tidak mengira bahwa tentara Islam begitu berani dan kuat walaupun jumlahnya
sedikit. Panglima Usamah terus mendorong semangat pasukannya untuk menang. Dia
sendiri bukan hanya memberikan komando, tetapi terjun langsung di tengah-tengah
medan pertempuran. Dia mengamuk membabi-buta bagaikan harimau lapar menerkam
setiap musuh yang menghampirinya.
Kegigihan tentara
Islam ternyata tidak sia-sia. Gempuran-gempuran mereka yang terus menerus
membuat tentara Romawi kehabisan tenaga. Bahkan tentara Romawi menjadi panik
ketika komandan mereka tewas terkena tombak yang dilemparkan Usamah. Setelah
itu tiba-tiba Usamah mengeluh sakit kepala dan pingsan. Sampai malam harinya
Usamah belum juga sadar. Ketika pertempuran berkecamuk semangat juangnya sangat
tinggi sehingga konsentrasinya selalu tertuju kepada kemenangan, ia tidak
merasakan dirinya sakit atau lelah, tetapi setelah perjuangan usai dengan
berhasil memperoleh kemenangan barulah ia merasa tubuhnya lemas.
Ketika dibawa
pulang ke Madinah, dalam perjalanan ia menghembuskan nafas terakhir. Setelah
diumumkan, maka berkumpullah kaum muslimin menyambut kedatangannya. Mereka
semua menaruh hormat yang sangat tinggi terhadap kepahlawanan Usamah.
“Kalau ada pahlawan
yang menghabiskan umurnya untuk berjuang, maka Usamahlah orangnya. Dia telah
berbuat banyak untuk agama bahkan untuk kita semua. Sampai-sampai di akhir
hayatnya ini pun dia telah meninggalkan jasa yang sangat besar untuk kita
sekalian,” kata Khalifah Abu Bakar.
Usamah telah
wafat setelah mengukir jasa besar dalam sejarah, yaitu membebaskan perbatasan
Syam dari tentara Romawi. Kepergiannya diiringi rasa haru dan cucuran air mata
yang membasahi ribuan telapak tangan yang menengadah sambil mengamini doa.
Usamah tertegun membaca buku itu.
Ayahnya ternyata punya doa yang luar biasa telah memberinya nama Usamah. Usamah
sang sahabat nabi mengalami derita kanak-kanak yang lebih berat dari dirinya.
Dicemooh, dihina, dijauhi teman-temannya, bahkan hidup tanpa orang tua di
sampingnya. Dia menjadi malu telah mempertanyakan keadilan Allah karena
memberinya kulit yang hitam. Usamah sang panglima perang pasukan muslim yang
hebat juga berkulit hitam legam, bahkan punya wajah yang tidak tampan. Tapi itu
semua tidak menjadikan ia surut dari prestasi. Ia tidak minder dan punya
semangat untuk terus berjuang. Bahkan Rasul Allah sendiri memuji kehebatan
Usamah. Seluruh umat muslim juga menaruh hormat dan kagum padanya. Semua itu
bukan karena fisiknya yang rupawan, tapi karena akhlak dan keberanian Usamah.
****