cinta kami ada dalam secangkir kopi, sepotong coklat, dan di blog ini..

Monday 24 October 2016

Teringat Omran Daqnees

Foto ini pernah menjadi viral di pertengahan Agustus. Dan membaca berita di balik foto ini membuat saya tergugu, bahkan hingga hari ini.




Dia adalah Omran Daqnees, 5 tahun, korban perang di Aleppo Suriah yang tidak menunjukkan reaksi apa pun ketika terluka karena bom. Tidak menangis. Tidak meratap. Tidak berteriak. Tidak kesakitan. Bahkan dia tidak mengucapkan sepatah katapun! Dia hanya diam, mengelap darah di wajahnya tanpa ekspresi. 

Ya Tuhan, dia bahkan baru seumuran Edsel! Mungkin dia tidak menangis karena syok. Mungkin juga karena saking biasanya melihat darah dan kematian sehingga apa yang terjadi pada dirinya merupakan hal-yang-harus-terjadi, hanya tinggal menunggu waktu saja.

Sulit bagi saya untuk bisa membayangkan bahwa seorang anak berumur 5 tahun berada di lingkungan yang serba tidak pasti, tidak aman, dan pasti mengerikan. Membayangkan bahwa saat Edsel masih bingung antara mau makan telur atau udang, di saat yang sama Omran dan teman-temannya sedang kelaparan karena makanan sulit didapat. Atau bahkan lebih gila lagi : sedang berlarian menyelamatkan diri dari bom dan tembakan. Saat Edsel merengek lebih memilih nonton tivi sambil tiduran daripada belajar IQRA', di sana di Suriah, Omran dan keluarganya mendengar desingan peluru setiap hari di atas atap rumah mereka.

Maka saya sering menjadi senewen ketika bapak ibu saya dan mertua terlalu memanjakan anak-anak. Saya sentimentil ketika Edsel punya suport system yang baik tapi itu menjadikan mereka punya standar kenyamanan yang tinggi. Dunia tidak selalu manis seperti di rumah kita, boy!

Saya sedih setiap kali membayangkan banyak anak-anak seumuran anak Edsel (atau bahkan Akis!) setiap saat terintimidasi, terluka dan bahkan terbunuh oleh perang yang tak kunjung selesai. Merenggut apa pun dari mereka. Merenggut rasa aman otomatis merenggut waktu belajar, bermain, kebebasan, dan sedihnya juga bisa merenggut nyawa siapa pun.

Jika perang itu atas nama kebenaran, maka kebenaran yang mana yang mengabaikan nyawa anak-anak? Jika perang itu 'hanya' perang saudara, kenapa tidak ada kekuatan yang mau menghentikan pembantaian terhadap anak-anak itu?

Atas nama apa pun, perang tetap saja tidak punya hati.


0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

© 2011 Everything is Beautiful, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena