cinta kami ada dalam secangkir kopi, sepotong coklat, dan di blog ini..

Tuesday 2 September 2014

Pelajaran Dari Usamah

Hari Kamis ketika mengantar si Ed TPA di masjid, saya dimintai tolong untuk membuat sebuah cerita karena hari Minggunya mau ada lomba FASI (Festival Anak Islami) tingkat kecamatan yang salah satu kategori lombanya adalah cerita anak Islami. Dan cerita itu harus selesai hari Jumat karena mau dipake latihan anak yang ikut lomba, berarti waktu saya cuma 1 malam untuk membuat cerita itu. Saya yang ketika itu dimintai tolong oleh Ustadnya cuma iya-iya aja, padahal saya udah lamaaaa banget ga nulis cerita. Yo wis saya anggap tantangan aja deh. Saya juga pingin tahu sedangkal apa semangat menulis saya, dan sejelek apa tanggapan orang lain membaca tulisan saya.

Waduh belum sampai dapat setengah cerita, si Ed udah kumat kolokannya minta ditemenin main. Ya maklum deh, saya biasanya pegang kerjaan setelah dia tidur. Jadilah sisa cerita saya selesain di kantor. Ha ha ha.. Dan karena bikinnya di kantor jadi ga bisa maksimal deh nelurin ide-ide. Ceileh ayam kali nelurin...

So, dengan segala keterbatasan ini lah cerita itu. Tapi lumayan juga sih, tadi dapat berita kalo lomba kategori ini dapat juara satu. Alhamdulillah... Mungkin anaknya yang hebat, bukan ceritanya.
(Ini saya copy paste aja dari Word karena males ngetik ulang dan karna belum nemu cara selain itu)


PELAJARAN DARI USAMAH
By : Rahmawati
“Arang! Arang! Arang!”
Uh Usamah sebal sekali dengan julukan itu. Apalagi jika di sekolah ada pelajaran yang kebetulan memuat kata ‘arang’, semua teman pasti langsung tertawa dan menoleh padanya.  Seolah-olah kulit hitamnya ini adalah hiburan gratis yang menyenangkan untuk teman-temannya. Menjadi bahan ejekan sehari-hari, lelucon rutin di setiap berkumpul.

Kalau boleh memilih tentu dia tidak mau lahir dengan kulit hitam legam seperti ini. Dia ingin kulitnya langsat seperti Wibi, atau setidaknya coklat sawo matang seperti Haidar. Tapi dia? Hitam, benar-benar hitam. Memang tidak sehitam kulit orang Afrika yang seperti dia lihat di TV, tapi tetap saja di antara teman-temannya dialah yang berkulit paling gelap.

“Ah, Allah memang tidak adil” gerutu Usamah. “Kalau Allah sayang aku, harusnya aku tidak diberi kulit seperti ini sehingga teman-teman tidak terus-menerus mengejekku”.

“Usamah, kamu harus bersyukur. Kamu terlahir dengan anggota badan yang lengkap dan sehat. Lihat deh, banyak orang lain di luar sana yang tidak punya tangan, tidak punya kaki, tidak bisa mendengar, tidak bisa bicara. Warna kulit kamu tidak ada apa-apanya dibanding penderitaan mereka.” Itu yang selalu dinasihatkan Ibu kepadanya. Ahhhh…tidak ada apa-apa bagaimana?? Mudah saja Ibu bilang begitu karena bukan Ibu yang sering diolok-olok. Apalagi jika diperhatikan warna kulit arangnya ini mungkin warisan dari Ibu. Lihat saja, Ayahnya berkulit sawo matang bersih. Nah Ibunya lah yang punya kulit sama seperti dirinya. Uh, Usamah makin sebal. “Semua ini gara-gara Ibu…,” gerutu Usamah lagi.

Usamah sebenarnya anak yang cerdas. Ia juga pandai bergaul. Tapi karena terlalu sering jadi bahan ejekan teman-temannya ia jadi mudah tersinggung dan malas untuk lama-lama bermain dengan mereka. Sebenarnya bukan ia saja yang punya kekurangan, ada juga anak lain yang gendut atau berhidung pesek yang sebenarnya bisa saja ganti dia balas mengolok mereka. Tapi Usamah tidak tega, rasanya tidak manusiawi sekali kekurangan fisik dijadikan bahan lelucon, maka ia diam saja dan hanya menggerutu dalam hati. Jika jam istirahat tiba, ia lebih senang ke perpustakaan. Di perpustakaan tidak ada yang berani mengejeknya karena di tempat itu dilarang ada kegaduhan. Anak-anak yang ke situ pun hanya datang untuk membaca atau meminjam buku. Tidak ada yang mau tahu urusan anak lain atau datang untuk bercanda-canda.

Hari ini ketika jam istirahat tiba, Usamah datang ke perpustakaan seperti biasa. Dia menemukan sebuah buku lusuh di tumpukan buku-buku lama yang jarang dibaca. Buku itu terlihat sangat tua sekali, bahkan sampul depannya sudah lepas entah kemana. USAMAH MENCARI SYAHID itu judul yang tertera di sampul lembar keduanya. Fisik bukunya tentu saja tidak menarik untuk dibuka, tapi ia penasaran dengan judul buku itu. Usamah? Selama ini ia hanya pernah mendengar cerita dari Ayahnya bahwa Usamah adalah sahabat Nabi dan panglima perang yang pemberani, maka Ayahnya menamai ia seperti itu agar ia juga mempunyai sifat tidak kenal takut dalam hal yang benar. Ia tidak pernah tertarik mendengar cerita Ayahnya itu. Boleh saja nama sama, tapi seorang panglima perang tentu sosok yang gagah, keren, dan tentu saja tidak hitam legam seperti dirinya. Harapan Ayahnya agar ia seperti Usamah sang panglima seperti olok-olok versi lain untuk dirinya.

Usamah dilahirkan di kota Mekah. Ibunya mengandung dirinya karena perbuatan jahat sekelompok laki-laki hitam yang sedang mabuk.  Ia meninggal ketika berjuang melahirkan Usamah ke dunia ini. Hanya diasuh oleh kakeknya yang tua renta, Usamah dititipkan dari satu teman ke teman lain kakeknya hingga sang kakek meninggal.
Ketika masih kanak-kanak Usamah sering mendapat cemoohan dan dijauhi teman-temannya karena dianggap anak pembawa malapetaka. Dalam pengasuhan Babur, sahabat baik kakeknyalah Usamah pertama kali mendapat keahlian berperang. Babur pula yang mengajarinya tentang akhlak. Babur mengajarkan apa yang diterimanya dari Rasulullah sehingga Usamah tumbuh menjadi pemuda yang mahir berperang, berani, dan juga sopan santun.

Di kota Mekah orang-orang yang sudah masuk Islam sering mendapatkan penyiksaan dari orang-orang musyrik. Lebih-lebih Rasulullah sendiri, beliau diancam akan dibunuh. Untuk menyelamatkan diri para pengikutnya, Rasulullah memerintahkan agar mereka hijrah ke Madinah. Setelah mendengar perintah itu, maka berbondong-bondonglah para pengikut Rasul pindah ke Madinah, termasuk juga Usamah dan Ummu Salma. Sepeninggal Babur, Usamah hanya tinggal berdua dengan Ummu Salma, istri kakek Babur yang sudah tua renta. Dalam perjalanan hijrah ke Madinah itu pun, Ummu Salma juga menghembuskan nafas terakhir.

Perang pertama yang diikuti Usamah adalah perang Badar. Meski  dalam usia yang masih sangat muda, Usamah tidak gentar menghadapi lawan. Bahkan dalam perang itu dia yang memojokkan Abu Jahal sehingga bisa dibunuh oleh Hamzah. Saat itu Usamah dengan buas membantai musuh-musuhnya, tidak ada seorang pun yang mampu menahan ayunan pedangnya.

Ketika usia Usamah sudah dewasa dan sudah waktunya bagi dia untuk berkeluarga Rasulullah yang mencarikan jodoh untuknya, yaitu putri Abdurahman bin Auf salah seorang sahabat nabi yang kaya.  Rasul pula yang mencarikan biaya untuk keperluan perkawinan Usamah dari sedekah para sahabat yang kaya. Usamah yang miskin, berwajah hitam dan jelek akan menikah dengan seorang putri saudagar kaya yang cantik dan saleh.

Menjelang hari pernikahannya, Usamah ke pasar hendak membeli baju baru dan berbelanja keperluan pernikahan. Memasuki pintu pasar, orang-orang ribut dengan adanya berita perang yang disampaikan dari mulut ke mulut. Mendengar berita itu jiwa kepahlawanan Usamah berkobar kembali. Usamah bertekad untuk ikut membela nabi dan rela membatalkan perkawinannya yang sudah di ambang pintu. Karena itu, uang yang semula akan dibelanjakan untuk membeli keperluan perkawinannya, sekarang malah dia belanjakan untuk alat-alat perang.

Rasulullah tersenyum mendengar berita dari Ali bin Abi Thalib bahwa Usamah membatalkan perkawinannya. Beliau sangat memuji kekuatan iman Usamah serta kesetiaannya kepada perjuangan. Bahkan Rasul menunjuk dia sebagai pimpinan pasukan berkuda pada peperangan di Kota Khaibar itu.

Setelah agama Islam berkembang pesat di Madinah, maka Rasulullah melakukan penaklukan terhadap kota Mekah. Dengan dikuasainya kota itu, maka tentara Islam menjadi semakin kuat karena banyak Quraisy yang masuk Islam dan menjadi tentara Islam.

Tetapi ancaman terhadap kaum muslimin sebenarnya masih sangat banyak, di antaranya ancaman dari bangsa Romawi yang pada saat itu sedang menguasai kota Syam. Untuk mempertahankan keamanan kaum muslimin dari gangguan tentara Romawi, maka Rasulullah membentuk pasukan untuk mengusir tentara Romawi dari kota Syam. Pasukan itu dilengkapi dengan persenjataan yang lengkap di bawah pimpinan Usamah.

Ketika pasukan Usamah tiba di tapal batas, mereka dipergoki mata-mata musuh. Orang itu ditawan dan dihadapkan kepada Usamah untuk diperiksa.
“Bagus, laksanakan tugasmu sebaik-baiknya. Sekarang silakan kamu kembali. Katakan kepada pemimpinmu tentang kami!” kata Usamah. “Maafkanlah tentara kami yang telah berbuat kasar kepadamu.”

Mata-mata itu itu tidak segera pergi. Tampaknya ia kebingungan. Ia merasa kagum dengan perlakuan panglima Islam yang begitu baik terhadap musuh. Maka akhirnya Elichis, si mata-mata Romawi itu, bergabung dengan pasukan muslim karena luluh dengan kebaikan hati Usamah dan pasukannya.

Kesempatan beberapa saat beristirahat di tempat itu dipergunakan oleh Usamah dan pasukannya untuk mengatur taktik penyerangan. Usamah adalah panglima yang telah memiliki banyak pengalaman sehingga ia dapat mengatur taktik yang baik.

Terjadilah pertempuran hebat antara kedua belah pihak. Tentara Romawi terkejut karena tidak mengira bahwa tentara Islam begitu berani dan kuat walaupun jumlahnya sedikit. Panglima Usamah terus mendorong semangat pasukannya untuk menang. Dia sendiri bukan hanya memberikan komando, tetapi terjun langsung di tengah-tengah medan pertempuran. Dia mengamuk membabi-buta bagaikan harimau lapar menerkam setiap musuh yang menghampirinya.

Kegigihan tentara Islam ternyata tidak sia-sia. Gempuran-gempuran mereka yang terus menerus membuat tentara Romawi kehabisan tenaga. Bahkan tentara Romawi menjadi panik ketika komandan mereka tewas terkena tombak yang dilemparkan Usamah. Setelah itu tiba-tiba Usamah mengeluh sakit kepala dan pingsan. Sampai malam harinya Usamah belum juga sadar. Ketika pertempuran berkecamuk semangat juangnya sangat tinggi sehingga konsentrasinya selalu tertuju kepada kemenangan, ia tidak merasakan dirinya sakit atau lelah, tetapi setelah perjuangan usai dengan berhasil memperoleh kemenangan barulah ia merasa tubuhnya lemas.

Ketika dibawa pulang ke Madinah, dalam perjalanan ia menghembuskan nafas terakhir. Setelah diumumkan, maka berkumpullah kaum muslimin menyambut kedatangannya. Mereka semua menaruh hormat yang sangat tinggi terhadap kepahlawanan Usamah.

“Kalau ada pahlawan yang menghabiskan umurnya untuk berjuang, maka Usamahlah orangnya. Dia telah berbuat banyak untuk agama bahkan untuk kita semua. Sampai-sampai di akhir hayatnya ini pun dia telah meninggalkan jasa yang sangat besar untuk kita sekalian,” kata Khalifah Abu Bakar.

Usamah telah wafat setelah mengukir jasa besar dalam sejarah, yaitu membebaskan perbatasan Syam dari tentara Romawi. Kepergiannya diiringi rasa haru dan cucuran air mata yang membasahi ribuan telapak tangan yang menengadah sambil mengamini doa.

Usamah tertegun membaca buku itu. Ayahnya ternyata punya doa yang luar biasa telah memberinya nama Usamah. Usamah sang sahabat nabi mengalami derita kanak-kanak yang lebih berat dari dirinya. Dicemooh, dihina, dijauhi teman-temannya, bahkan hidup tanpa orang tua di sampingnya. Dia menjadi malu telah mempertanyakan keadilan Allah karena memberinya kulit yang hitam. Usamah sang panglima perang pasukan muslim yang hebat juga berkulit hitam legam, bahkan punya wajah yang tidak tampan. Tapi itu semua tidak menjadikan ia surut dari prestasi. Ia tidak minder dan punya semangat untuk terus berjuang. Bahkan Rasul Allah sendiri memuji kehebatan Usamah. Seluruh umat muslim juga menaruh hormat dan kagum padanya. Semua itu bukan karena fisiknya yang rupawan, tapi karena akhlak dan keberanian Usamah.
****

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

© 2011 Everything is Beautiful, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena