cinta kami ada dalam secangkir kopi, sepotong coklat, dan di blog ini..

Wednesday 12 June 2013

Apa Dosa Si Caesar?

Suka sedih deh kalo kalo dikomentarin :
 " Wah kalo caesar ga ngrasain jadi ibu dong. Perjuangan ibu itu kan saat kita merasakan sakit ketika melahirkan."

Edodoeee.... please ya, dengan cara melahirkan apa pun kami tetap ibu lho. Lagian siapa yang bilang Sectio Caesaria (SC) itu ga sakit? Siapa siapa?? Sakiiitt booookkk! Trus siapa yang memilih SC? Kan bukan kita, tapi dokter yang memutuskan karena melihat kondisi ibu dan bayi. Bukan kami yang sok genit ga mau susah-susah ngeden.

Kalo disuruh milih mah, saya (dan semua ibu-ibu yang berpikiran sehat di luar sana) pasti menginginkan bersalin dengan cara normal (kecuali yang memilih SC karena milih tanggal lahir cantik, no comment ya untuk yang ini). Ya iya lah, persalinan normal itu merupakan pilihan terbaik. Penyembuhan luka ibu lebih cepat, bayi mendapatkan bakteri baik selama menuju jalan lahir, bayi juga ga shock, dan sederet kebaikan lainnya. Itu kalo kondisi kita memungkinkan. Kalo ga memungkinkan ya jalan satu-satunya dioperasi.

Dan jangan dikira operasi itu menyenangkan ya. Sekedar sharing pengalaman SC saya :
Pada usia kehamilan 39 minggu dokter memvonis bahwa panggul saya sempit, kepala bayi tidak bisa masuk panggul. Dengan kondisi demikian, saya harus melahirkan dengan cara operasi, tidak bisa tidak. Pun hingga usia kehamilan lebih dari 40 minggu saya belum merasakan kontraksi sedikit pun. Padahal ketika di-USG kondisi air ketuban sudah tidak 'sehat' untuk si adek bayi. Ya sudahlah, malam itu yang niatnya cuma mo periksa akhirnya jadi nginep di Rumah Sakit karena besok pagi-pagi mau dioperasi.

Malam sebelum operasi. Saya berusaha tenang, tapi laki-laki di samping saya itu ga pernah bisa senyum sampe pagi 

Daaannn... semalaman saya ga bisa bobo sedetik pun di Rumah Sakit. Saya ini dalam kondisi ga ada apa-apa aja kadang sulit tidur, apalagi ini mau disayat-sayat dibelah-belah. Huaaaa.... Apalagi tangan kiri dipasangin selang infus, otomatis ga bisa gerak bebas, sakit pula kan. Mo miring kiri ga bisa, miring kanan terus ya pegeeeel. Ke kamar kecil juga nenteng-nenteng infus (padahal wanita hamil tua kan bentar-bentar buang air kecil). Amboiii. 

Belum kalo setiap beberapa jam sekali ada perawat (ato bidan ya?) yang 'merogoh' saya udah bukaan apa belum. Saya benciiii banget pemeriksaan ini. Sakittt. 

Paginya setelah mandi (yang tentu saja tidak bersih karena tangan terbelenggu infus) saya dipasangin kateter urin, ini yang paling saya tidak suka, hiks. Kemudian saya digeledek ke ruang operasi, tanpa boleh ditemani siapa pun termasuk suami. Maluuu boookk, semua dokternya laki-laki, cuma ada satu asisten yang perempuan. Hadeehh smoga makin banyak deh perempuan yang jadi DSOG biar para wanita yang mo melahirkan ga menahan malu karena harus telanjang ketika melahirkan.

Saya disuntik bius spinal (separuh badan) di tulang punggung oleh dokter anestesi yang juga laki- laki (!!). Karena saya sciliosis, dokter susah menemukan titik yang tepat. Sampai 2 kali suntikan belum berhasil. Saya meringis, tegang, sakit, sampai-sampai dokter tersebut menyuruh saya memeluknya ketika saya akan disuntik untuk ketiga kalinya. Beuuhhhh...*Maafken aku suamiku.

Perlahan-lahan kaki saya terasa hilang, pertanda obat bius mulai bekerja. Dan saya mulai merasakan perut saya dikoyak-koyak, kepala pusiingg minta ampun. Sembari bekerja dokter-dokter berusaha mencairkan ketegangan dengan mengajak saya ngobrol santai. Padahal saya males sebenarnya. Sudah habis energi saya untuk merasakan perut terkoyak dan pusing yang ga habis-habis ini. 

10 menit kemudian operasi selesai, saya mendengarkan tangisan pertama Edsel. Tidak ada haru biru ato perasaan ingin menangis karena bahagia. Saya justru sebal karena dokter tidak menunjukkan si bayi yang baru saja diambilnya dari perut saya kepada saya. Bahkan permintaan IMD saya ditolaknya juga. Nanti katanya, kalo ibu udah ke ruang pemulihan dan bayi udah dibersihkan. Yaaa... serius ga sih ni? Masak prosedurnya begitu?

Sesaat setelah lahir
Saya masuk ruang pemulihan. Dan saya menagih janji kepada perawat untuk IMD, meskipun sudah terlambat. Bayi diantar, dengan sudah memakai popok dan baju. Saya minta perawat untuk meletakkan Edsel di perut saya dan berusaha untuk IMD 'terlambat' ini. Ga ada yang mendampingi saya dan bayi, kami cuma sendiri.

Sesaat setelah Edsel diambil untuk dikembalikan ke ruang perinat. DAAARRR...saya merasakan perih yang luar biasa di perut bekas sayatan operasi. Luar biasa sakitnya!  Rasa perih ini berlanjut hingga keesokan harinya, dan besoknya lagi. Untuk bergerak sedikit saja sakitnya minta ampun. Kondisi ini diperparah dengan tranfusi darah yang harus saya lakukan, juga demam tinggi karena ASI yang seharusnya dikeluarkan tidak dihisap bayi karena kami tidak bisa rawat gabung. Semua itu menyebabkan saya semakin susah tidur. Jadi terhitung 3 hari 3 malam saya ga tidur. Ajaib saya ga tumbang. Saya cuma sedih setiap kali ada yang nengokin dan berkomentar ga enak seperti di atas. Setelah semua yang saya rasakan di atas, masih tega juga ngatain saya bukan ibu sejati.

Ibu sejati itu bukan tergantung dari cara seperti apa dia melahirkan, tetapi tentang bagaimana dia berusaha menjaga kehamilannya, merawat, mengasuh, dan mendidik anaknya.

Hiks jadi mellow. Semoga ada yang setuju deh.

1 comments:

  1. keren banget tipsnya. blog yang seperti ini yang saya suka..selalu memberikan informasi yang bermanfaat untuk para pembaca..update trus sob

    ReplyDelete

Powered by Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

© 2011 Everything is Beautiful, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena