cinta kami ada dalam secangkir kopi, sepotong coklat, dan di blog ini..

Wednesday 6 September 2017

Utang Pada Negeri


Membaca tulisan Frans Pati Herin di harian Kompas pada edisi Sabtu, 2 September 2017 berjudul Ke Pelosok Demi Membayar 'Utang', sungguh membuat saya mau tidak mau melongok kembali fakta di sana-sini tentang cerita anak negeri era dewasa ini.

Ke Pelosok Demi Membayar Utang adalah berita tentang anak-anak muda berusia 20-an yang meninggalkan kenyamanannya di rumah untuk mengabdi dan mengajar di daerah terpencil dan perbatasan. Bukan, bukan daerah terpencil di Pulau Jawa yang seterpencil-pencilnya masih bisa dijangkau dengan transportasi darat yang lumayan, tapi ke pelosok nun di pulau-pulau yang saya saja megap-megap membayangkannya. Untuk bisa mencapai ke daerah itu bisa berganti armada hingga 5-6 kali dengan pergantian moda ransportasi yang komplit : bis, pesawat udara, perahu, ojek, perahu cepat, jalan kaki! Jangan tanya soal biaya yang dibutuhkan untuk ke sana, bisa mencapai jutaan rupiah. Jangan tanya pula tentang waktu perjalanan dan rasa lelahnya. Pun jangan tanya tentang mahalnya harga barang-barang di sana dan kondisi sederhana yang mereka jalani karena uang saku dari pemerintah daerah yang jauh di bawah kebutuhan.

Jadi apa? Apa yang mereka cari dengan semua kegilaan itu? Mereka bukan PNS yang sudah diberi jaminan gaji oleh negara. Mereka tidak dipaksa oleh entitas apa pun untuk melakukan semua itu.

"Hampir sebagian besar biaya pendidikan saya adalah beasiswa. Itu saya anggap sebagai utang dan mengabdi ke pelosok adalah cara saya membayar 'utang' itu kepada negara," kata Atina.

Utang. Membaca sepenggal jawaban dari Atina Handayani (28) lulusan Sastra Perancis Universitas Gadjah Mada yang berasal di Yogyakarta sontak membuat saya malu. Selanjutnya menggigil, mencari-cari apa yang sudah saya baktikan demi utang yang juga saya punyai untuk negeri ini?

Sejak SD sampai SMA saya juga sering mendapat beasiswa. Kuliah pun tak sepeser saya keluar uang. Lalu sampai di mana 'pembayaran utang' saya? Dengan pengabdian saya yang hanya dimulai dari pukul 07.30 sampai dengan 15.30? Dengan jaminan setiap bulan mendapat gaji yang lebih dari cukup untuk saya syukuri? Kemudian tidak bisa tidak, saya mulai usil membandingkan dengan keadaan di sana sini sebagian kecil dari kita yang mendapat keberuntungan beasiswa pendidikan ditambah keberuntungan langsung ditempatkan sebagai PNS, namun kemudian ongkang-ongkang kaki tanpa loyalitas memadai. Apa kabar mereka? Berapa utang mereka pada negeri? Berapa ongkos mereka untuk berbakti? 

Ahh, ujungnya-ujungnya saya hanya jadi tukang teriak-teriak saja di blog. Betapa makin menumpuknya utang yang tidak saya tunaikan.
 

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

© 2011 Everything is Beautiful, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena