Pages

Tuesday, 31 December 2013

Perkara Klasik

Apa yang dulu terpikir di kepala saya (ketika masih lajang) jika melihat anak batuk pilek? "Tega banget sih ibunya, ga mau bawa ke dokter".

Dan hukum karma pun berlaku. Meski dulu pikiran semacam itu cuma ada di kepala saya, sekarang Tuhan membalasnya. Jika Edsel batuk pilek, maka kata-kata seperti yang ada di pikiran saya beberapa tahun yang lalu itu lah kini dilahirkan oleh orang lain tepat di depan muka saya, setiap hari!


Sebenarnya bisa saja saya jawab batuk pilek (common cold) itu disebabkan oleh virus. Virus hanya bisa disembuhkan oleh waktu dan daya tahan tubuh penderita itu sendiri, tidak perlu obat. Cukup usahakan agar anak banyak minum dan istirahat. Tunggu saja, time will heal, waktu yang akan menyembuhkan. Obat batuk yang dijual bebas di apotek atau sering diresepkan dokter sekali pun sama sekali tidak dibutuhkan dalam kasus anak saya. Obat batuk itu hanya menekan batuk, bukan membasmi penyebabnya. Padahal batuk diperlukan untuk membuang dahak di saluran pernapasan. Bayangkan jika reflek batuk ditekan, berapa banyak dahak yang terus tinggal di saluran pernapasan yang siap menjadi bom waktu suatu saat kelak. Jadi batuk itu anugerah, biarkan saja dia melakukan tugasnya untuk membersihkan saluran napas agar bersih kembali.

Bisa saja saya memberikan obat biar batuknya yang mengerikan itu segera berhenti. Biar saya tenang, biar orang lain juga diam. Tapi benarkah obat itu untuk kebaikannya? Bukan! Obat itu untuk mengobati kekhawatiran saya, mengobati ketidaktegaan saya melihat sakitnya, mengobati rasa bersalah saya, mengobati komentar-komentar negatif orang-orang. Dan siapa yang akan menerima efek samping dari obat yang tidak dibutuhkan ini? Anak saya! Bukan saya! Bayangkan betapa egoisnya kalo sampe saya seperti itu.

Jadi jangan kira saya akan berceramah panjang lebar tentang manfaat batuk kepada orang tua dan saudara-saudara yang notabene apa beda virus dan bakteri saja tidak tahu. Alih-alih memahami tindakan saya untuk tidak memberikan obat, bisa-bisa saya makin dicap ibu yang ga becus. Seperti yang dulu saya pernah tulis di sini , saya sering, terlalu sering malah, berbeda sikap dan prinsip dengan orang lain. Dan saya sudah lelah memberi mereka penjelasan dengan bahasa yang santun dan mudah dipahami tentang mengapa saya melakukan ini dan itu yang tidak umum dilakukan orang lain. Saya capek, toh sebelum saya jelaskan pun mereka sudah 'membentengi diri' untuk tidak menerima penjelasan saya. Sampe saya berbusa-busa dengan suara serenyah-renyahnya sekali pun, yang tidak umum tetap saja dianggap salah.

Akhirnya sekarang, ketika diceramahi saya cuma berkata, "Insya Allah saya tahu kapan harus khawatir" sambil menyunggingkan senyum yang lebih manis dari madu.

Ketika sampe di titik ini saya hanya berharap bahwa orang lain tidak perlu memahami tindakan saya, tapi tolong hargai saya dan suami saya sebagai orang tua Edsel. Silakan menasihati, tapi menyindir, menyalahkan, atau mengambil tindakan diam-diam tanpa sepengetahuan kami bukan lah tindakan bijak. Kami lah yang paling berhak untuk menentukan apa yang paling tepat untuknya, bahkan satu benda yang masuk ke mulutnya sekali pun. Tak peduli benar atau salah, tetap saja kami yang bertanggungjawab atasnya. Itu saja.

Selamat menjelang Tahun Baru... Jadilah orang yang merdeka, tak perlu tergantung dari penilaian dan sikap orang lain untuk bahagia.

Ketika Harus Memilih

Bagi saya, hidup itu pilihan. Penuh dengan pilihan-pilihan yang menuntut kita memilih satu di antara banyak hal. Saking seringnya dihadapkan pada banyak pilihan yang sulit, akhirnya saya kadang 'me-masa bodo-kan' pilihan yang sudah saya ambil. Karena kalo tidak begitu, bisa stres saya menghitung-hitung untung ruginya.

Menjadi ibu rumah tangga atau memilih menjadi ibu bekerja adalah salah satu pilihan besar dalam hidup saya. Jika akhirnya saya memutuskan untuk bekerja, itu sebenarnya bukan hal yang mudah untuk dijalani. Menitipkan anak seharian kepada orang tua. Tidak bisa memantau dengan siapa dia bergaul, apa yang dia lakukan, apa yang dia makan. Tidak tahu kapan dia menangis, merajuk, ngamuk. Tidak bisa melarang apa yang dia tidak boleh lakukan. Tidak bisa mengajak apa yang harusnya bagus untuk dia lakukan. Kalo memikirkan semua itu, bisa kelimpungan kayak cacing kepanasan di kantor. Dan itu sudah pernah terjadi di waktu awal masa cuti melahirkan saya habis! Belum lagi membayangkan lingkungan pergaulan di rumah yang membuat saya ingin teriak. Arrgghh... sempat emosi jiwa dan tidak ingin masuk kantor saja.

Tapi kemudian saya sadar, saya bekerja bukan sekedar untuk aktualisasi diri, bukan sekedar karena saya tidak bisa diam di rumah. Bukan. Bukan demi saya. Saya bekerja karena keluarga membutuhkan saya untuk bekerja. Pada akhirnya bekerja atau tidak bekerja di luar rumah, memang bukan dua hal yang saya bimbangkan terus-menerus. Bukan masalah tentang saya tidak adil pada Edsel, karena adil atau tidak adil saya memang harus bekerja. Dan itu pilihan saya.

Dan pilihan itu memberi saya sebuah tanggung jawab untuk melakukan yang terbaik bagi semua yang terkena dampaknya. Saya bekerja di kantor dengan sepenuh hati, karena rugi amat jika sudah meninggalkan anak seharian demi bekerja tapi bekerjanya asal-asalan.

Di lain pihak, karena hanya bisa mengasuh dalam waktu yang terbatas, maka saya jadi ibu yang total juga. Ketika mengajak bermain, ya jadi teman bermainnya sungguhan. Main apa pun total. Lupakan sejenak jadi orang dewasa.

Ketika saatnya harus jadi orang tua, ya lakukan semua tanggung jawab sebagai ibu. Memasak, nyuapin, bacain buku, dan lain-lain. Manfaatkan waktu kebersamaan, no gadget, no my favourite book! Jika Edsel udah tidur, baru me time : baca buku, browsing, ngopi.
Dedikasi mutlak untuk mereka, tak pernah sekali pun ingkar

Saya bukan ibu yang sempurna, saya sadari itu. Saya juga bukan pegawai yang brilian. Tapi seperti apa pun saya, toh saya sudah memperjuangkan dua hal tersebut agar berimbang. Jika kemudian ada yang mengkritisi wanita itu kodratnya harus begini begitu, maaf maaf kata, tolong pahami, lihat lebih dekat bagaimana kami wanita-wanita bekerja ini tetap berusaha menjadi ibu dan istri yang baik sekaligus ikut menjaga dapur tetap ngebul, juga mengabdi sebaik-baiknya untuk masyarakat.

Saya sangat yakin tak semua ibu bekerja itu menelantarkan anaknya, suaminya, urusan rumah tangganya. Bahkan kami selalu menjaga peran yang bertumpuk-tumpuk ini agar tidak tumpang tindih. Jika boleh memilih, tentu saya memilih bekerja di rumah. Bisa mengurus anak dan rumah tangga selama 24 jam sekaligus punya penghasilan sendiri. Tapi tak semua wanita punya kesempatan itu.

Terima kasih untuk yang telah mengingatkan kami atas kodrat kami, tapi sungguh kami tak pernah mengingkari kodrat yang sudah melekat ini. Mungkin suatu saat ketika jalan untuk terus berada di rumah itu telah terbuka lebar, kami akan memilihnya. Tapi bagaimana dengan fungsi kami sebagai pengabdi masyarakat? Ketika semua bidan itu laki-laki (sebutannya bidan bukan sih?), ketika semua dokter spesialis kandungan itu laki-laki, ketika semua dokter spesialis kulit dan kelamin itu laki-laki, ketika semua guru laki-laki, ketika semua pengacara laki-laki, ketika semua polisi laki-laki, dll. Bagaimana kaum wanita akan nyaman dilayani oleh mereka?

Hanya sekedar berbagi pendapat saja, maaf jika pendapat ini banyak salah-salahnya. Selamat Hari Ibu yang terlambat.

Tuesday, 17 December 2013

Berjalan di Atas Cahaya


Judulnya "Berjalan di Atas Cahaya" dengan subjudul "Kisah 99 Cahaya di Langit Eropa". Sebenarnya saya salah beli karena yang saya inginkan novel yang berjudul "99 Cahaya di Langit Eropa". Sedangkan ini ternyata bukan sebuah novel tapi kisah perjalanan dan cerita nyata, walaupun dengan pengarang yang sama. Pantesan tipis banget.

Saya memang tidak mencari referensi sebelumnya tentang novel tersebut jadi ga tau sampul kulit atawa isinya seberapa tebal. Hanya sedang butuh bacaan dan mampir ke toko buku, kebetulan liat buku ini di rak paling depan dan pernah dengar kalo novel dengan judul tersebut best seller bahkan dibuat film. Eeh... ternyata setelah saya bayar di kasir, liat novelnya. Yo wis lah next time aja kalo punya duit beli lagi.

Tapi ga nyesel lho beli buku ini. Inspiratif dan menceritakan sisi lain dari sebuah traveling. Hanum Salsabiela Rais penulis buku ini menyajikan kisahnya selama berada di Eropa. Bagaimana dia bertemu dengan orang-orang yang luar biasa selama di benua biru tersebut. Orang-orang dengan hati yang luas yang telah menanam kebaikan kepadanya meski dia bukan bagian dari mereka. 

Buku ini setidaknya membuka cakrawala baru bagi saya bahwa ada sisi lain dari Eropa, terutama tentang bagaimana penduduk muslim di benua ini. Yang disajikan juga bukan tempat-tempat yang 'umum' diliput oleh TV-TV, tapi kota-kota yang 'asing' yang jarang kita tahu lewat media. Ada kisah tentang perempuan muslim asal Aceh yang tinggal di desa Ipsach, desa kecil di Swiss. Bekerja di produsen jam nomor wahid dunia, bersuamikan seorang bule mualaf. Di pedalaman Eropa yang terpencil itu, dengan gaji yang tak main-main, ia tetap teguh dengan jilbab dan akidahnya.

Juga ada cerita tentang Mama Heidi dan suaminya Reinhard Kramar, pasangan dokter yang tinggal di Linz, Austria. Mereka bukan muslim, tinggal di Eropa yang serba uang. Tapi mereka memberikan tempat tinggal apartemen gratis selama 2 bulan untuk Hanum (penulis) dan suaminya, meski mereka berbeda keyakinan.

Juga ada kisah kejujuran di desa Neerach, Swiss. Toko bunga tanpa ditunggui penjual. Pembeli mengambil, membayar, mengambil kembalian, sendiri!!  Sebuah sistem kebaikan tanpa perlu banyak cing cong di negeri yang tak agamis. Markus Klinker dan Siti Zubaida Kllinker tinggal di desa ini. Markus yang seorang ustadz tetap menaruh hormat dan cinta yang luar biasa kepada orang tuanya meski ia telah menyeberang keyakinan. Ya, orang tuanya adalah penganut Katholik yang taat. Markus dibesarkan di keluarga penginjil yang terhormat, maka ia merawat anaknya dengan landasan iman pula, meski dengan iman yang berbeda.

Satu hal yang membuat saya begitu terinspirasi, bagi Hanum pergaulan adalah investasi. Investasi sosial. Di saat-saat sulit, di saat kita membutuhkan jalan keluar, maka bisa jadi investasi sosial yang telah kita tanam sebelumnya lah yang akan memudahkan jalan kita. Ini pelajaran yang paling bisa saya petik dari buku ini. Tentu saja selain penggambaran tentang tempat-tempat yang membuat saya serasa berada di sana. Membaca deskripsi Hanum sedikit mengurangi kemustahilan untuk 'merasakan' Eropa, even nun di pedalaman Benua cantik itu.

Selamat berburu buku ini ya bagi yang belum punya. Selamat membaca bagi yang udah beli (atau pinjem hehehe).

Book is my soul...






Friday, 13 December 2013

Racun Tupperware

Bedakan antara need and want, keinginan dan kebutuhan. Itu prinsip keuangan saya. Teori teorii teoriiii...!

Saya suka kesal pada diri sendiri. Udah nyusun skala prioritas dengan rapih, udah berusaha nahan napsu beli yang ga perlu. Eehh giliran liat wadah tupperware yang lucu-lucu dan cantik-cantik itu, luruh sudah pertahanan saya. Takluk. Edan kan saya cuma takluk pada seorang sales tupperware. Kayaknya ni wadah plastik emang dibekali zat pemikat deh. Selalu sukses meracuni saya untuk selalu beli.

Bayangkan ya... saya ni paling kuat menahan godaan untuk belanja -belanji biar pun temen-temen yang lain pada beli ini itu jika saya ga membutuhkannya. Contohnya baju, sepatu, tas, make up, HP. Kalo tu barang-barang belum bulukan, belum beli. Mending duitnya ditabung buat liburan #keluarga gila liburan,haha.... Tapi begitu ditawarin tempat minum tupperware, biar kata udah punya 10 biji, teueteup aja tergoda buat beli. Padahal ni produk kan ga murah kan ya? Gila kan?

Kayak kasus siang ini nih, ada pertemuan PKK di kantor. Kebetulan didatengin sales tupperware juga. Udah tutup mata, mantepin ga mau beli secara akhir bulan ada rencana liburan yang makan duit gede. Ehhh... dengan alasan liburan itu pula jadi pembenaran beli tempat minum lagi untuk liburan nanti. Dalam hati ini bilang "nanti kan liburan Edsel butuh tempat minum yang bisa disampririn di bahu. Tempat minum yang kemarin itu kurang gede, kurang bagus jugak!" Beuhhh....
 
Jadi deh tu duit 70 ribu melayang dari dompet saya siang ini. Nyesel ga? Dikit sih, tapi seneng juga punya barang baru. Bahahaha...  Dasar emak-emak ya. 

Ini nih produk yang udah meracuni saya. Keren kan? Ada stiker yang bisa ditempel dan ditulisi nama si pemilik. Trus yang penting ada talinya juga, jadi bisa dicantelin di motor ato disampirin di bahu. Talinya bisa dilepas, dipasang, ato dipanjang pendekin. Bagus deh. Tadinya mau pesen yang lebih gede biar muat lebih banyak jadi bisa cukup untuk bapak emaknya sekalian, tapi barangnya lagi kosong. Ya udah deh, lagian kalo dipikir-pikir ini tujuannya kan emang untuk Edsel.

New Kiddie Tumbler 470 ml Rp 70.000
  Yaah gimana sih? Katanya kesel, kok malah jadi promosi. Arghhh...racun racun emang dasar racun.

Thursday, 5 December 2013

Body Butter

Bahwa saya ga pernah perawatan body, suami saya udah mahfum. Bahwa memang cuma lotion yang jadi andalan saya sehari-hari, itu udah sangat sangat cukup. He he he..

Tapi bicara soal kulit kering, itu perkara lain. Kulit kering ga cuma ga sedep dipandang, ga cuma ga enak disentuh, tapi juga berasa ga nyaman di kita nya. Ini nih problem klasik ogut. Kulit yang super duper kering. Dari jaman baheula kulit akik ini udah kering kerontang. Nah jeleknya lagi, menyadari hal itu, bukannya rajin dirawat tapi malah dicuekin ajah. Cuma pake body lotion aja nih setiap hari, itu pun cuma tiap pagi habis mandi. Parah bener deh jadi perempuan.

Sampe tiba-tiba kepikiran mau nyobain body butter. Cuma penasaran aja ada perubahan ga dibandingkan pake body lotion. Liat-liat jejeran body butter di Indomaret, aku milih merk Mustika Ratu. Pernah baca review-nya di majalah Femina kalo produk ini lumayan oke. Lagian packaging-nya terlihat meyakinkan, ga terlihat murahan gitu. Dengan kandungan buah zaitun yang kondang sebagai perawatan kesehatan dan bahan kosmetik, kayaknya ni produk layak dicoba juga.
Wanginya sih bukan aroma yang harum dan terlalu mencolok gitu ya, walaupun aku ga terlalu suka. Warnanya ijo pucat. Ketika diaplikasikan ga terlalu berminyak dan ga bikin gerah, enak deh. Tapi ga terlalu meresap juga sih, masih ada 'sisa-sisa minyak' di kulit gitu, tapi cuma dikit.

Efeknya gimana untuk kulit kering? Di kemasannya sih tertulis kalo ini melembabkan kulit yang kering atau sangat kering, tapi efeknya di aku ga seheboh yang diharapkan. Tapi lumayan lah, setingkat lebih melembabkan dibanding lotion yang biasa aku pake. Kurang tau ya untuk jangka panjangnya gimana, coz belum habis aja aku udah ganti pake lotion lagi. Soalnya body butter kan ga ada SPF-nya, padahal akik sering aktivitas di luar kantor. Sempet sih kalo sore doang pake produk ini, tapi lama-lama males juga sama baunya yang ga aku suka. Mungkin nanti deh kalo udah ilang traumanya sama zaitun bisa diulang pake body butter ini lagi. Ato mau nyobain yang Kopi Body Butter aja, hiiii aku kan sukaaa banget sama aroma kopi. Cuma manfaatnya kan ga se-oke buah zaitun kan ya?

Oke buat kamu yang nyari body butter yang berkualitas dengan harga miring, produk ini recomended !!

Tuesday, 3 December 2013

Rumitnya Jadi Ibu


" Gimana caranya adik bayi bisa ada di perut?"
" Kenapa Afika ga punya thihit kayak Edsel, Buk?"
" Allah itu tinggalnya di mana? Edsel boleh ikut Allah?"
" Kok lagunya Ambilkan Bulan? Gimana caranya ambil bulan yang ada di langit sana?"

Tanyakan itu semua padaku dan akan aku jawab dengan sempurna, sesempurna buku beserta penjelasan ilmiahnya!

Tapi persoalan menjadi lain ketika itu dan sederet pertanyaan ajaib lain keluar dari mulut balita. Dari mulut manusia yang aku lahirkan 2,5 tahun tahun lalu. Bayangkan betapa rumitnya. Rumit. Memang rumit menjadi ibu. Makanya, belajar!

Menjadi orang tua, lebih-lebih ibu itu butuh ilmu. Ga cuma sekedar mbrojolin anak, kasih makan enak, beliin mainan yang dia sukai, selesai urusannya. Gak! Ga se-simple itu. Menjawab pertanyaan dari anak juga ada ilmunya. Bukan hanya tentang benar dan salahnya jawaban kita, tapi tentang bagaimana cara menjawabnya.

Ketika anak kita yang berumur 2 tahunan bertanya tentang gimana bayi bisa ada di perut seorang wanita, memangnya mau kita jawab : "Gini lho dek, laki-laki dan perempuan yang sudah menikah itu boleh tidur bersama. Nah saat itu ada proses pelepasan spermatozoid dan kemudian membuahi sel telur. Sel telur yang sudah dibuahi menempel di dinding rahim yang ada di perut perempuan, namanya zigot. Zigot terus berkembang menjadi bayi, dan akhirnya nanti ketika sudah saatnya akan keluar."

Atau mau kita jawab begini : "Hush jorok dek, ga boleh ngomongin itu! Adek masih kecil."

Ga dua-duanya di atas kan? Jawaban pertama terlalu rumit dan membingungkan untuk dicerna anak seusia itu. Bisa jadi dia makin tambah bingung. Jawaban kedua akan membunuh sifat kritis anak, tanya ini ga boleh tanya itu ga boleh, lama-lama anak akan males bertanya lagi. Padahal periode emas ini_di mana segala sesuatu menarik perhatiannya_harus kita manfaatkan sebaik-baiknya karena ga akan terulang lagi.

Maka dari itu, belajar menjadi ibu itu perlu. Perlu banget! Biar kita bisa bijak menjawab pertanyaannya, biar kita bisa merangsang rasa ingin tahunya. Ga mau kan kalo anak kita bertanya ke orang yang salah dan dijawab salah pula? Nah lho, makanya penting banget tuh kita minterin diri sendiri dulu sebelum minterin anak. 

Padahal jadi ibu itu ga ada sekolahnya lho. Ga ada universitas yang mendirikan jurusan "Ibu yang Baik". Seandainya ada, mungkin di situ mata kuliahnya : cara-cara menjaga kehamilan, cara melahirkan yang baik, ASI, MPASI, imunisasi, cara stimulasi perkembangan anak, cara menjawab pertanyaan dengan jawaban yang mudah dipahami anak, langkah mengajak anak shalat tanpa membantah, langkah mencari sekolah yang baik untuk anak, cara mencari uang yang banyak biar bisa menyekolahkan anak ke luar negeri, dll. Ha ha ha ...Rumit amat yak? Semua 'mata kuliah' di atas berasal dari semua disiplin ilmu. Kesehatan, psikologi, ekonomi, bisnis, manajemen, agama, dan lainnya.

Luangkan waktu sejenak untuk belajar. Biar kita ga terjebak pada mitos yang belum tentu bener, biar kita ga terjebak pada 'katanya'. Belajar bisa dengan baca buku, majalah, browsing internet, ikut seminar, dan banyak lagi deh caranya. Please ya, ini sudah bukan jamannya lagi ibu itu ga bisa smart. Tergantung niat dan kemauan aja.

Jadi kawan, jangan anggap enteng jawaban sebagai ibu. Ibu itu pekerjaan yang jam kerjanya 48 jam sehari, 7 hari seminggu, 4 minggu sebulan, tidak bisa cuti, tidak boleh resign, dan tanpa gaji! Makanya kita dituntut untuk siap. Siapnya gimana? Ya kalo belum siap untuk belajar tentang banyak hal, ya jangan jadi ibu. Bukan saya under estimate dengan maraknya kasus pelajar hamil duluan dan mendadak jadi ibu lho, ya (walaupun sangat saya sayangkan). Tapi ketika Tuhan menitipkan seorang anak untuk kita jaga, saat itu pula lah kita harus siap untuk dimintai pertanggungajawaban tentang apa yang telah kita lakukan untuk menjaga titipan itu.

Cheers.. yuk jadi ibu yang smart!

Monday, 7 October 2013

Luwes, again!

 Jika ada hal 'duniawi' yang kami tidak pernah sayang uang untuk melakukannya, maka itu adalah : beli buku dan jalan-jalan. Semiskin-miskinnya kami, tapi untuk dua hal tersebut teuteuupp ... Sering sayang sayang duit mau beli tas, sepatu, baju, gadget atau nyalon. Makanya penampilan kami ini nggak trendi, gadget nggak update, body juga boro-boro bau salon. Bener-bener nggak keren deh kami ini. Tapi giliran beli buku atau jalan-jalan. Hajar !! 

tahu dong darimana Edsel dapat pipi tembemnya
Prinsip kami nih, kami udah kerja keras cari duit seminggu full, berangkat pagi, pulang sore. Ninggalin anak seharian. Kadang ada stress-stressnya juga kalo ada kerjaan yang menggila. Disiplin nyisihin duit buat investasi. Masak iya kami nggak ngasih reward buat diri sendiri untuk semua kerja keras yang udah dilakukan? Reward-nya ya itu tadi, di saat nafsu belanja buku dan jalan-jalan melanda : DONE !

Nah, kalo lagi males jalan-jalan yang panas-panas semacam pantai, gunung, atau wisata alam lainnya, paling banter kami ke pusat perbelanjaan yang ada area permainannya, mirip-mirip timezone gitu deh. Sekalian belanja bulanan, sekalian main-main.

Di Wonogiri sendiri, hanya ada dua pusat perbelanjaan yang ada timezone-nya. Toserba Luwes dan Baru. Belum bisa disebut mall sih, hanya semacam swalayan gitu. Tapi tempat bermainnya lumayan lah.

Kalo untuk bermain, saya lebih merekomendasikan Luwes. Tempatnya lebih lapang, terang, dan lebih lengkap. Tapi untuk keperluan belanja, saya lebih prefer Baru. Kualitas barang-barangnya lebih bagus dan lengkap. Nah, karena tujuan utamanya memang lebih ke jalan-jalan daripada belanja, maka belanja bulanan cukup di Luwes biar bisa main sepuasnya sama Edsel. Atau jika ada barang yang harus saya beli di Baru, maka biasanya saya main dulu sama si Ed setelah itu baru saya tinggal belanja ke Baru. Si Ed gantian main sama Ayahnya.


mejeng noh !

asiiikk, goyang goyang

Ibuk mana ya?


kaya kakak ade ya? he he he
Seperti minggu kemarin nih, kita udah sumpek banget di rumah jadi mendadak pingin jalan aja. Ke mana? Ya Luwes lagi Luwes lagi. Habis mau ke pantai juga panasnya gila. Mau ke kebun binatang, kejauhan, males di jalan kelamaan panasnya. Dulu sempet punya cita-cita nggak pingin keseringan ngajak anak ke pusat perbelanjaan atau mall biar standar indahnya dia tu bukan sesuatu yang terang benderang, ademnya AC, hingar bingar musik. Makanya jalan-jalan ala kami tu ke pantai, kebun binatang, toko buku, museum, taman bermain, sawah ( ini sih emang karna rumah kami deket sawah, ha ha ha ). Tapi makin ke sini, kok jadi makin nggak idealis ya kami ini. Hmm...pe -er nih.

Friday, 27 September 2013

Cinta di Dalam Gelas

... dan kopi itu adalah cinta di dalam gelas.


Novel kedua dwilogi Padang Bulan ini banyak berkisah, bahkan hampir seluruhnya, tentang Enong alias Maryamah. Yang menarik, kalau tidak ingin dikatakan mengecewakan, di novel ini Andrea mengangkat tentang kebiasaan orang Melayu : catur dan kopi. Menarik karena budaya bahwa orang Melayu identik dengan dua hal tersebut belum jamak diketahui orang, termasuk saya (gyahaha...). Siapa sangka nun di Belitung yang ndeso sana ternyata kopi dan catur yang kita kenal sebagai kebiasaan intelek ternyata sudah menjadi kebiasaan yang turun-temurun.

Ada kemungkinan mengecewakan karena Andrea membawakannya dengan kurang indah, terlampau banyak sesuatu yang dipaksakan 'terjadi'. Mungkin ini hanya pendapat saya pribadi karena ekspetasi yang terlalu tinggi setelah kadung membaca Laskar Pelangi. Bodohnya saya kan ketika membaca suatu karya bagus dari seorang pengarang maka karya tersebut akan saya jadikan standar untuk karya-karyanya selanjutnya. Tanpa mau tahu bahwa proses kreatif seorang penulis bisa berubah-ubah.

Tetap dengan gayanya yang khas, Andrea bertutur tentang kesedihan, perjuangan,dan yang terpenting : semangat untuk mau belajar, dengan cara yang tak membosankan. Menggelitik namun tetap menyayat hati, tidak menggurui namun tetap menginspirasi. Kisah pilu Maryamah yang menikah hanya demi membahagiakan ibunya, namun akhirnya memilih bercerai karena sang suami_Matarom_ adalah lelaki hidung belang yang memperlakukannya dengan sangat buruk. Ibunya meninggal, semua adik-adiknya telah ia sekolahkan dan nikahkan dengan layak. Meski ia akhirnya sendiri, dan masih tetap seorang penambang timah, tak ada yang ia sesali. Ia menyikapi nasibnya dengan cara yang amat mengagumkan meski kesusahan tak henti-henti menimpanya.

Maryamah membalas sakit hati pada mantan suaminya dengan cara yang tak lazim : hendak menantang Matarom main catur di kejuaraan catur 17 Agustus. Padahal perempuan main catur belum pernah ada dalam sejarah mereka, menghadapi laki-laki pula!

Trik-trik catur, serba-serbi kebiasaan mgopi masyarakat Melayu dibahas tuntas oleh Andrea. Meski entah dia bisa main catur atau tidak sesungguhnya, tapi penuturan tentang catur di novel ini patut diacungi jempol. Risetnya tentu tidak main-main. Tapi tentang ngopi masyarakat Melayu, saya agak meragukan. Saya cenderung menganggapnya sebagai rekaan belaka, untuk mempermanis cerita. Juga cerita tentang blender penggerus kopi di warung Paman_di sini dikisahkan Ikal bekerja di warung kopi milik pamannya_terasa seperti 'mengotori' cerita saja. Tidak masuk akal dan seharusnya tidak perlu ada dalam novel ini. Kecuali dia mengisahkan dengan cara lain, atau tidak menempati porsi terlalu banyak hingga tiga mozaik.

Overall, novel ini tetap bisa direkomendasikan untuk bacaan alternatif bagi kita di tengah novel-novel teenlit atau novel terjemahan yang bukannya tidak bagus, tapi kurang membumi. Andrea tetaplah menginspirasi dengan caranya yang tak umum.Jika kita mau merenungkan lebih dalam, sesungguhnya novel ini membawa pesan bahwa BELAJAR ITU KENISCAYAAN. Tidak dibatasi oleh strata, tingkat pendidikan, dan usia. Karena apa pun ilmu itu, dia akan takluk oleh jiwa-jiwa pembelajar.

"Berikan aku sesuatu yang paling sulit, aku akan belajar."

Friday, 20 September 2013

Hansel and Gretel : Witch Hunters


Dari sedikit film horor yang saya tonton, inilah film favorit saya.  Jika saya tidak suka dengan film horor Indonesia, tidak demikian halnya dengan film horor bikinan Hollywood. Alasannya sederhana: hantu Indonesia lebih menakutkan daripada hantu Amerika. Coba tengok deh, pocong, kuntilanak, suster ngesot, lebih bisa mendirikan bulu kuduk dibanding melihat sosok penyihir atau hantu lain versi orang barat sono.

Di film Hollywood saya cenderung bisa menikmati ceritanya daripada kesan menakutkannya. Jadi tidak hanya kita ditakuti-takuti dengan sosok, suara, atau, atau tempat, tapi ceritanya juga oke.

Film Hansel and Gretel : Witch Hunters bercerita tentang kakak beradik yang ditinggalkan oleh Ayahnya di tengah hutan ketika masih kecil. Di hutan itu mereka menemukan rumah permen yang ternyata adalah rumah penyihir. Sebelum berhasil dimakan oleh penyihir, Hansel dan Gretel berhasil membunuh penyihir itu dengan membakarnya. Sejak saat itu mereka terus memburu penyihir dan menjadi pemburu penyihir terkenal. 

Sampai akhirnya di suatu desa bernama Augsburg, anak-anak yang lahir pada bulan-bulan tertentu hilang diculik penyihir dengan alasan yang misterius. Selain berhadapan dengan penyihir yang hebat, ternyata dari situ lah awal mula terungkapnya misteri mengapa Ibu mereka menghilang dan Ayah mereka meninggalkannya di tengah hutan.

Hansel and Gretel : Witch Hunters merupakan sebuah film Amerika Serikat-Jerman yang dirilis pada tahun 2013. Disutradarai oleh Tommy Wirkola, film ini dibintangi oleh Jeremy Renner sebagai Hansel, dan Gemma Arterton sebagai Gretel.

Saya suka banget film ini. Yang pertama karena saya suka sama pemainnya Jeremy Renner yang kereeeeen dan selalu terlihat 'cowok' sekali di banyak filmnya, tak terkecuali yang ini. Gemma Arterton juga nggak kalah suksesnya membuat dirinya menjadi seorang cewek cantik yang pemberani dan agak angkuh. Top deh mereka berdua!

Alasan kedua, saya 'trenyuh' dan selalu suka dengan film yang memperlihatkan cinta dan kesetiaan antar saudara. Di sini nyaris tidak ada kisah percintaan tokoh utamanya, hanya sedikit cerita tentang Hansel dengan Mina, itu pun akhirnya Mina meninggal di akhir cerita. 

Alasan ketiga, saya suka dengan nama tokoh utamanya : HANSEL, GRETEL. Hehehe..nggak nyambung, tapi memang begitulah adanya. Namanya yang unik udah jadi poin tersendiri untuk saya menyukai film ini.


Thursday, 12 September 2013

Jangan Samakan Dia

Pernah membanding-bandingkan anak kita dengan anak lain? Pernah merasa ingin anak kita seperti anak lain? Jika iya, kamu masih normal! Setiap orang tua memang mengharapkan anaknya jadi anak yang sempurna, anak yang bisa dibanggakan. Normal bukan? Tentu kebangetan sekali ortu yang masa bodoh mau anaknya bodo kek, pinter kek, suka-suka dia.

Nah bagaimana dengan ortu yang tidak pernah silau dengan kelebihan anak lain? Ortu yang bangga dengan anaknya tanpa syarat. Bukan karena dia berprestasi, bukan karena kecerdasannya di atas teman-temannya, bukan karena kemampuannya melejit, dll. Tapi bangga karena menjadi ayah dan ibu dari anak itu. Itu lah yang saya sebut NORMAL SEKALI.

Jujur sejak Edsel lahir sampai sekarang usianya 2,5 tahun, tidak sekali pun saya membanding-bandingkan dia dengan anak lain. Panduan saya dalam menilai Edsel_normal atau tidak, perkembangannya mengkhawatirkan atau tidak_ hanyalah buku KMS (Kartu Menuju Sehat) dan KPSP . Saya tidak pernah peduli jika anak tetangga sudah pintar menghitung sedang Edsel hanya bisa sampai 10, itu pun kadang tidak konsisten. Saya tidak ambil pusing jika anak teman saya pintar menyanyi sedang Edsel tidak suka musik. Saya tidak pernah berambisi mengenalkan Edsel membaca melihat anak lain ada yang sudah hapal huruf. Tidak. Saya tidak pernah menjadikan anak lain sebagai acuan, sebagai motivator.

Dia adalah yang tidak suka film kartun, yang tidak suka buku cerita. Dia adalah ANAKKU.

Saya bahagia-bahagia saja menerima fakta bahwa Edsel tidak suka musik tapi lebih senang mendengarkan suara fals ayah dan ibunya. Saya tidak pernah mengajak dia nonton film kartun edukatif karena dia lebih menggilai nonton video tentang cara kerja mesin. Buku cerita bergambar pun tidak pernah Edsel sentuh karena buku favorit ter-favorit dia adalah Ensiklopedia yang tebal-tebal itu. Saya tidak pernah mendongeng tentang kancil atau dongeng populer lainnya karena dia maunya diceritakan tentang sel darah putih yang membunuh bakteri atau tentang lalat Tsetse yang menyebabkan penyakit tidur atau lain kali tentang matahari bulan bintang. Orang bilang semua itu aneh, tapi saya bilang ITU ANAK SAYA.

Apa peduli saya sedangkan saya tahu bahwa 'cetakan' anak itu sudah berbeda-beda. Bahwa membandingkan anak sama dengan menyakiti hatinya. Bahwa membandingkan anak tidak ubahnya dengan membunuh potensi dan kecerdasan yang seharusnya kita gali.

Saya sudah merasa sangat bersalah meninggalkan anak seharian. Dan saya tidak punya cukup waktu untuk 'menyiksa' dia melakukan sesuatu yang membuat dia tidak bahagia. Oh iya, satu lagi perasaan bersalah saya adalah demi ingin menjaga perasaan orang lain saya kadang-kadang pura-pura memuji anak lain dan merendahkan anak sendiri jika sedang ngobrol dengan teman atau tetangga. Sungguh itu hanya demi menjaga rasa percaya diri lawan bicara saya, bukan karena saya tidak puas dengan 'performa' Edsel (duh apa sih tu pake istilah performa segala ha ha ha ...)

Jadi, seperti apa pun dia, dia tidak akan pernah sama dengan yang lain. Jangan samakan dia.

Thursday, 29 August 2013

Padang Bulan : Andrea Hirata

Sudah ngincer buku ini sejak 2011, ga kesampaian karena sibuk ngurus baby. Dan akhirnya, lupa.

Sempat nglirik dan hampir beli buku ini beberapa bulan yang lalu ketika main ke Gramedia Malioboro Mall. Tapi ga jadi lagi karena beli buku lain yang lebih penting, dan duitnya ga cukup. He he he ...

Akhirnya minggu kemarin yang niatnya mampir ke Kutu Buku Wonosari cuma mau beliin Edsel Ensiklopedia, langsung nyamber dwilogi buku yang pertama, Padang Bulan. Harganya 38 ribu perak aja sodara-sodara! Lebih murah beberapa ribu rupiah jika dibandingkan harga di Gramed.

Padang Bulan adalah buku pertama dari dwilogi dengan judul yang sama. Buku keduanya, Cinta Dalam Gelas belum saya saya beli sekalian karna masih mo liat buku yang pertama ini bagus ga.

Abaikan bocah berbaju oranye yang nyungsep di bawah buku demi memeluk ibunya

Buku ini bercerita tentang Enong, gadis Sekolah Dasar penggemar pelajaran Bahasa Inggris yang harus keluar dari sekolah karena Ayahnya meninggal. Keadaan memaksa dia untuk menanggung hidup keluarganya, ibu dan ketiga adiknya yang masih kecil -  kecil. Dan gadis kurus yang bahkan belum tamat SD itu menjadi penambang timah. Penambah timah! Pekerjaan kasar yang paling kasar, berat yang paling berat. Bahkan untuk laki - laki bugar bugar sekali pun.

Dan apa dia menjadi cengeng? No! Apa dia mengeluh? No! Meski waktu telah merampas masa mudanya tanpa bangku sekolah, ijazah SD pun tak ada, dia tetap bersemangat mengikuti kursus Bahasa Inggris. Melunasi mimpi-mimpinya. Tanpa minder, tanpa peduli cemoohan orang.

Juga cerita tentang Ikal, si keriting di tetralogi Laskar Pelangi. Buat yang penasaran dengan cerita menggantung dan mengecewakan di Maryamah Karpov, buku terakhir dari tetralogi itu, maka di sini lah kelanjutannya. Lembar-lembar awal dari buku ini sedikit membuat saya kecewa, sangat biasa, umum, tidak menyihir seperti diksi Andrea di Laskar Pelangi. Sampai di bagian cerita tentang Ikal, Andrea kembali lagi merebut hati saya. Puitis, lucu, nakal, tak terduga. Namun sebenarnya, menurut saya, ini menurut saya lho, Andrea sudah mulai tak ajaib lagi di buku Maryamah Karpov. Jika kita sudah membaca Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor maka membaca Maryamah Karpov seperti membosankan. Tak membuat kita terbelalak terheran-heran dan geleng-geleng kepala lagi. Dan kembali menurut saya yang sok tau ini, di Padang Bulan Andrea seperti gagap ketika bertutur tentang Enong. Dia mulai luwes saat bercerita lagi tentang Ikal, dirinya. Dan itu pun tetap tak mampu menandingi ketiga buku awal tetraloginya.

Di sini digambarkan Ikal kacau, stress, dan hampir putus asa karena mengira A Ling telah meninggalkannya pergi dengan lelaki lain. Dicampakkan A Ling sama dengan dicampakkan dari dunia. Perempuan yang ia cintai hampir seumur hidupnya. Yang demi dia, Ikal telah minggat dari rumah menantang Ayahnya, kini membuat hidupnya acak-acakan. Pemuda pengangguran, pendek, patah hati pula!

Sampai hampir selesai buku, saya belum bisa menemukan mengapa buku ini diberi judul Padang Bulan. Baru di akhir bab, benar-benar di akhir, bahkan hampir di lembar terakhir, baru lah saya paham.

Ada sebuah puisi : 

Ada Komidi Putar di Padang Bulan
.................
.................
Ayah, pulanglah saja sendirian
Tinggalkan aku
Tinggalkan aku di Padang Bulan
Biarkan aku kasmaran

Dan  oke lah, Padang Bulan cukup membuat saya kasmaran. Meski ia tak mampu memalingkan hati saya pada cinta pertama : Sang Pemimpi.

Cinta Dalam Gelas? Wait me!

Thursday, 22 August 2013

Pria - pria di Hatiku ( II )

Dia adalah pria selanjutnya di hatiku.

Mau tidak mau, suka tidak suka dia telah datang padaku meski aku tidak memilihnya.

Pria ini yang pernah membuat aku sering lemas dan hampir pingsan. Menantikan kehadirannya adalah momen yang menyakitkan tapi penuh kebahagiaan. Dua sisi yang aneh tapi begitulah dia menentukan caranya. Dan aku? Aku si pemberontak, menurut saja seperti kerbau dicocok hidungnya. Menurut tanpa syarat. Takluk.

Dia pernah membuat aku tidak tidur selama berhari-hari. Dia yang telah membuat aku menangis tersedu-sedu karena khawatir. Dia berhasil membuatku melahap kacang tolo_makanan yang sangat aku benci dengan lahap dan rakus. Membuatku mengabaikan kembung karena kebanyakan minum. Merampas hampir separuh tidur malamku. Dia dengan caranya yang magis telah menghantuiku sepanjang waktu sibukku di kantor. Dia yang membuat aku pusing setengah mati. Dia yang selalu menguras energi dan pikirku.

Tapi ajaibnya, dia lah yang menguasai hampir seluruh cinta di jiwaku. Bahkan jujur kuakui, terkadang perhatian dan rinduku pada pria pertama sering kubagi dengan tidak adil dengan pria kedua ini. Aku telah sering mendua dengan lebih mengutamakannya.

Dia mengajarkan aku tentang keikhlasan, kesabaran, pengorbanan, perjuangan. Aku menjadi manusia pembelajar yang lebih giat belajar. Bahkan sujudku kini selalu lebih lama demi bisa mendoakannya, tanpa bosan-bosan. Memilikinya telah mengubah cara berpikirku, cara pelampiasan emosiku, cara aku memperlakukan orang lain, cara bicaraku, bahkan cara tersenyumku. He he he ...

Singkatnya, kehadirannya sudah mengubah hidupku meski tidak pernah mengubah sisi pribadiku. Aku masih hobi membaca, dan masih terus gila membaca. Aku masih suka nonton film, dan tetap tidak berubah hingga sekarang. Aku masih ketagihan kopi, dan masih suka ngopi hingga hari ini. Tak pernah dilarangnya, meski untuk menjalani semua ini aku harus pintar mengatur waktu.

Dia ... lelaki hebat ini telah mencuri hatiku mulai detik pertama aku melihatnya. Dan terus membuat aku jatuh cinta tanpa henti setiap detik, setiap hari.

Tuesday, 20 August 2013

Pria-pria di Hatiku ( I )

Sedikitnya saat ini ada dua pria yang menyanding hatiku.

Yang satu cuek, dingin, tidak bisa menggombal merayu. Jangankan merayu, memuji saja seperti memindahkan gunung, beraaattttt. Boro-boro menggombal semanis madu, tersenyum duluan saja bisa meruntuhkan gengsinya. 

Tapiii... aku tahu di balik wajahnya yang sedingin es Antartika itu, hatinya lebih hangat dari secangkir kopi kesukaan kami. Aku juga tahu di balik kata-katanya yang sering kali keras itu, hatinya sering bisa diajak kompromi.

Tidak banyak bicara, tidak bisa membujuk menepuk, cukup lakukan apa yang perlu dilakukan. Seperti di kepanduan "Sedikit bicara banyak bekerja". Tidak pernah menghibur ketika aku teler kecapekan, tahu-tahu cucian dan setrikaan beres. He he he ... Membantu sepenuh hati apa yang perlu dibantu. 

Mentalitas yang tidak semua wanita mendambakannya. Bukankah wanita suka dibujuk dan dirayu? Suka dimanja dan dipuji sampai membumbung tinggi? Tapi percayalah, wanita-wanita manja nan egois seperti aku memang membutuhkan pria seperti ini. Terkadang memang tidak menyenangkan hati, sering malah membuat dongkol sampai menangis sesenggukan. Tapi aku telah sangat percaya bahwa Tuhan Yang Maha Cinta mengirimkan Pria Gunung Es ini untuk mengubah perangaiku. Agar aku tidak melulu selalu minta dicintai, tapi juga belajar mencintai. Agar aku tidak selalu ingin diberi, tapi juga belajar memberi meski tak selalu diberi. Agar tidak terus minta dipahami, tapi juga memahami walau tak sesuai keinginan hati. Agar tak selalu ingin dipuji, namun lebih sering memuji. Agar lebih bisa mengendalikan emosi. Agar tidak banyak memerintah, tidak banyak omong. Dan masih banyak lagi lainnya. Berat? Oh iya. dan semua itu butuh proses. Sampai sekarang pun kami masih menjalani proses itu. Tapi setidak-tidaknya kami telah banyak mengubah diri kami sendiri ke arah yang lebih baik. 

Dan akhirnya memang cinta itu tidak melulu bikin perasaan kita tersanjung sampai ke awang-awang, atau membuat hati kita berbunga-bunga sepanjang hari. Cinta dari Pria Gunung Es ini lebih dari sekedar romantisme itu. 

to be continued ya...